Minggu, 26 April 2009


BAGAIMANA MENGHINDARI KRISIS KEUANGAN INTERNASIONAL

oleh Leland B. Yeager

Diringkaskan dari:
"How to Avoid International Financial Crises"
CATO Journal, Winter 1998

Polarisasi kebijakan nilai tukar mata uang.

Pada satu sisi ialah unifikasi moneter, dan pada sisi yang lain ialah nilai tukar mengambang murni. Kedua sisi polarisasi maupun semua kebijakan diantara kedua polarisasi itu mengandung keuntungan dan kerugian masing-masing. Namun adanya suatu kerugian dalam suatu sistim bukanlah berarti sistim itu sama sekali tidak berguna. Pelajaran dasar ilmu ekonomi adalah memilih mana yang memberikan lebih banyak keuntungan dibandingkan beban yang harus dibayar untuk kerugian atau keburukan dari pilihan itu.

Diantara kedua polarisasi kebijakan nilai tukar itu ada kebijakan-kebijakan yang merupakan kompromi, yang masing-masing bisa mempunyai suatu keunggulan pada suatu saat, tapi dengan sistim yang sama situasi dapat berubah menjadi sangat memburuk pada saat yang lain.

Diantara negara-negara yang ada unifikasi mata uang, tidak pernah ada masalah mengenai lalu lintas modal spekulatif dari negara yang satu kenegara yang lain.
Floating murni, adalah kebijakan yang tidak pernah menimbulkan krisis bagi otoritas yang berkepentingan karena nilai tukar bebas untuk bergerak sesukanya. Krisis yang dimaksud disini bukan berarti tidak ada, tetapi yang mengalami krisis adalah sektor ekonomi yang lain.

Fixed rate atau "Bretton Woods System" bermaksud untuk mendapatkan yang terbaik dari kedua sifat polarisasi, tetapi dalam banyak hal justru mendapatkan bagian yang terburuk dari keduanya. Sistim ini sangat terancam oleh spekulasi satu arah. Jika ada indikasi nilai tukar fixed sedang tergoncang untuk berubah maka dipastikan spekulator akan menyerang, dengan perhitungan bila benar terjadi perubahan ia akan untung besar sedangkan bila ternyata tidak terjadi perubahan kurs maka ia tidak rugi seberapa. Itulah sebabnya spekulasi besar-besaran seringkali dialami dan dilain pihak intervensi besar-besaran pun diupayakan untuk mempertahankan nilai kurs tetap tidak berubah.

Belakangan ini sebagai alternatif terhadap sistim kurs tetap berpola Bretton Woods, direkomendasikan pilihan yang bernama Currency Boards atau dewan mata uang. Sistim kerja dewan mata uang beroperasi mendekati pola unifikasi moneter dengan menetapkan nilai tukar mata uang domestik secara pasti pada tingkat tertentu terhadap satu atau sejumlah matauang luarnegeri. Tingkat nilai tukar dipertahankan dengan memiliki cadangan valuta asing sekurang-kurangnya 100% dari uang domestik (dalam arti sempit). Dewan mata uang tidak dapat kekurangan cadangan untuk mempertahankan tingkat nilai tukar itu.

Dengan cukup memiliki cadangan 100% tidak dari seluruh uang yang beredar, melainkan hanya sejumlah uang kertas dan koin yang diterbitkan oleh dewan itu sendiri, dewan menjamin penukaran kedalam valuta asing sesuai nilai tukar yang ditentukan. Berbeda dengan pegging pola Bretton Woods, pola ini pasti mampu bertahan, sepanjang dewan tetap bebas dari kewajiban campur tangan terhadap lembaga keuangan lainnya. Dalam hal ini bank-bank komersial masing-masing harus bekerja dengan prudent dan selalu harus bisa mendukung deposito dan uang giral yang dipegangnya untuk ditukarkan kedalam uang dasar (base money).

Apa yang terjadi bila, ternyata, bank-bank tidak bekerja dengan baik atau karena sesuatu hal mengalami musibah sehingga kena rush ? Jika dewan mata uang harus menolong dengan memberikan bantuan likuiditas, maka disitulah bisa terjadi dewan kekurangan cadangan terhadap kewajibannya sendiri. Matauang domestik akan menjadi sasaran serangan spekulasi terhadap kemungkinan devaluasi. Peristiwa serupa ini terjadi di Argentina 1995 dan di Hongkong 1997.

Satu pola kebijakan nilai tukar lainnya yaitu Managed floating dimana intervensi pihak yang berwenang tidak dimaksudkan untuk bertahan terhadap perubahan yang fundamental, tetapi hanya untuk menghilangkan fluktuasi akibat perbedaan supply dan demand jangka pendek atau goncangan spekulatif sesaat. Pola solusi yang memerlukan intervensi selalu dihantui oleh kekuasaan 'big-player', seperti dijelaskan dibawah ini. Kata-kata pengantar bahwa nilai tukar dibiarkan mengambang selama masih dalam band tertentu, pada akhirnya tidak lebih dari kata-kata pemanis saja.

Pola-pola kebijakan yang mengandung unsur kompromi, selalu memperlihatkan adanya masalah intervensi, yang kemudian ternyata satu intervensi memerlukan adanya intervensi lain terus-menerus. Begitu juga sebaliknya, jika intervensi dihilangkan, pembebasan secara partial akan berakibat timbulnya konsekwensi yang mempertanyakan apakah pengendalian yang masih berlangsung harus dihentikan atau pembebasannya dibatalkan.

Perpindahan modal:

Ada macam-macam sifat dan pengaruh perpindahan modal dalam berbagai pola kebijakan nilai tukar. Pelarian modal spekulatif bisa berasal dari masuknya modal yang semula bukan bersifat spekulatif.

Dalam kebijakan nilai tukar tetap, termasuk sistim dewan mata uang, surplus neraca pembayaran yang diakibatkan pemasukan modal asing cenderung mengekspansi jumlah uang beredar domestik dan menimbulkan inflasi.
Pergerakan modal dinegara-negara dengan unifikasi moneter tidak menambahkan jumlah uang beredar dinegara tujuan.

Dinegara dengan nilai tukar mengambang, perpindahan modal cenderung terhambat oleh ketidak pastian nilai tukar, dan perubahan nilai tukar itu sendiri akan menurunkan hasrat penanaman modal. Nilai tukar yang fluktuatif terhadap aliran modal berpengaruh kepada semua transaksi dan bukan hanya terhadap perpindahan modal itu saja. Dan nilai tukar yang mengambang itu merugikan sektor-sektor ekonomi tertentu pada setiap kali terjadi perubahan.

Sekali lagi tidak ada sistim yang memiliki banyak kebaikan dan tidak ada keburukannya. Kebijakan nilai tukar tetap menghilangkan fluktuasi nilai tukar dengan jalan membebaskan naik atau turunnya jumlah uang beredar domestik, dan juga dengan berakibat timbulnya ketidak pastian pegging kurs akan bertahan sampai kapan.
Unifikasi moneter mengorbankan sifat quasi-fleksibilitas dalam harga-harga dan upah regional, serta juga menghilangkan kegunaan kebijakan moneter yang bisa disetel mengikuti kondisi lokal.

Pemain kelas berat (Big Players):

Pemain kelas berat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang bisa memainkan pengaruh terhadap pasar sementara ia sendiri kebal terhadap perubahan laba atau rugi. Dalam konteks ini mereka adalah pemerintah, bank sentral, dan organisasi internasional. Para pemain kelas berat ini yang menentukan tingkat nilai tukar dan kebijakan intervensi. Begitu pula perubahan kebijakan ekonomi yang banyak berpengaruh kepada berbagai pihak. Mereka menjadi titik pandang para rent-seeker.

IMF adalah juga 'Big player' dalam memutuskan apakah akan mendukung mata uang yang sedang diserang atau menyediakan dana pinjaman. Kebijakan IMF diingini atau tidak, menjadi panutan bagi penilaian terhadap suatu negara, dan kredit yang ia berikan menjadi "penglaris" yang akan diikuti pemberi pinjaman lainnya.

Krisis Keuangan dan Teori Moneter

Teori moneter atau 'ketidakseimbangan moneter' singkatnya menjelaskan bahwa peristiwa booming perekonomian yang menimbulkan inflasi atau kelesuan bisnis yang menjadikan resesi, adalah akibat dari keadaan jumlah uang beredar didalam suatu negara, yaitu masing-masing dalam keadaan berlebihan atau kekurangan, dibandingkan jumlah uang yang diinginkan masyarakat pada tingkat harga-harga dan upah yang berlaku. Teori moneter menggambarkan masalah kompleks yang tidak dapat dihindarkan dan ancaman perlunya dilakukan penyesuaian terhadap satuan nilai sebagai akibat ketidakseimbangan supply dan demand suatu matauang pada satuan nilai yang lama.

Krisis Asia menunjukkan analogi permasalahan perbankan dan perusahaan yang memiliki pinjaman sangat besar dalam valuta asing. Depresiasi matauang lokal berarti melonjaknya kewajiban pembayaran hutang. Permintaan valas untuk membayar hutang bersifat inelastis, dan dengan demikian suatu depresiasi akan membawa depresiasi lebih lanjut kedalam lingkaran setan. Baik debitur, kreditur maupun mitra dagangnya semua turut menderita.

Dalam konteks internasional persoalan menjadi semakin kompleks karena keterlibatan dua atau lebih mata uang. Perubahan nilai tukar mata uang yang dipegged secara kurang mantap, ataupun hanya prospek perubahan, mengacaukan fungsi uang sebagai alat pembayaran. Begitu pula fluktuasi nilai tukar mengambang yang dikaitkan dengan inflasi. Semua itu digambarkan dalam krisis keuangan internasional ini, bahwa seharusnya mata uang yang stabil adalah vital bagi koordinasi perekonomian, kalkulasi dan perencanaan bisnis.

Kesimpulan

Kesimpulan yang diambil oleh Yeager dalam artikel ini mengungkapkan suatu pemahaman yang menekankan bukan kepada bagaimana menyusun kebijakan nilai tukar tetapi kepada apa yang dinamakan matauang itu sendiri.

Pengaturan kebijakan nilai tukar menyebabkan sukar untuk memastikan nilai dari mata uang itu sendiri, karena hal ini banyak tergantung dari kebijaksanaan bank sentral, dimana bank sentral sendiri mendapat serangan bertubi-tubi dari dalam maupun luar negeri.

Reformasi mendasar disarankan untuk mengatasi ketergantungan itu. Bentuk reformasi ini adalah dengan melepaskan kebijakan menerbitkan uang dari tangan pemerintah (!)

Pihak yang menerbitkan uang ialah penerbit-penerbit mata uang dan deposito, yang masing-masing bertanggung jawab untuk mematuhi komitmen yang ia berikan.

Masing-masing penerbit dalam menerima deposito dan menerbitkan mata uang, wajib memperhitungkan kemungkinan terjadinya arus bolak-balik pemasukan dan pengeluaran dana, ia harus memperhatikan sepenuhnya bukan hanya portofolio aktiva tetapi juga bagaimana ia mengatur kelancaran kewajiban-kewajiban moneternya.

(Diskusi lebih detail, lihat: Yeager, L.B. (1997) The Fluttering Veil; Essays on Monetary Disequilibrium (337-425). Edited by G.Selgin. Indianapolis, Ind.; Liberty Fund.)