Kamis, 18 September 2008

news- BPN- LISENSI APPRAISAL

Minggu Ini BPN Terbitkan Lisensi Appraisal Lahan Tol


Berita ini erat kaitannya dengan proses ganti rugi dimana NJOP SEBAGAI instrumen perpajakan perlu dianalisis lebih lanjut oleh Penilai Independen

Laporan Wartawan Kompas Haryo Damardono
www.kompas.com


JAKARTA, KOMPAS- Badan Pertanahan Nasional menyatakan akan segera menerbitkan lisensi bagi appraisal independen. Penerbitan lisensi ini diharapkan mempercepat pembebasan lahan tol di berbagai daerah.

Dalam pengamatan Kompas, kini sering terjadi Panitia Pembebasan Tanah (P2T) tidak berani menetapkan harga setelah terbit Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 yang mewajibkan appraisal atau penaksir independen memiliki lisensi dari BPN.

Appraisal atau lembaga penilai harga tanah adalah lembaga profesional dan independen yang mempunyai keahlian dan kemampuan dibidang penilaian harga tanah. Di Indonesia, appraisal dibutuhkan karena Nilai Jual Obyek Pajak tidak mencerminkan harga suatu tanah dan bangunan. Masih ada komponen lain yang diperhitungkan, sehingga dikenal pula harga pasar.

”Minggu ini, BPN segera menerbitkan lisensi appraisal. Baru empat perusahaan appraisal yang mengajukan permohonan lisensi, dan akan segera kami proses,” kata Kepala BPN Joyo Winoto, Rabu (28/11) di Jakarta.

Menurut Joyo, belum adanya lisensi sebenarnya tidak dapat dijadikan penghalang untuk membebaskan lahan bagi jalan tol sebab ada P2T. ”P2T seharusnya dapat difungsikan terlebih dahulu, bila lisensi dari BPN belum turun,” ujar dia.

Ditemui di Gedung DPR RI, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, mudah-mudahan pernyataan Kepala BPN dapat dibuktikan. ”Semoga saja, lisensinya (untuk appraisal independen), benar-benar dikeluarkan,” ujar Djoko.

Sikap pesimistis Djoko disebabkan sejak dikeluarkannya Peraturan Kepala BPN pada Mei lalu hingga November ini belum ada lisensi appraisal yang dikeluarkan. Menteri PU pada Senin (26/11) bahkan mengatakan akan mengambilalih permasahan ini.

BPN Belum Juga Menerbitkan Lisensi Appraisal Lahan Tol


JAKARTA, KOMPAS- Kepala Subdirektorat Pengadaan Lahan Departemen Pekerjaan Umum Wijaya Seta mengatakan, hingga pertengahan Desember 2007 ini, Badan Pertanahan Nasional belum juga menerbitkan lisensi bagi appraisal lahan tol.

Appraisal atau lembaga penilai harga tanah adalah lembaga profesional dan independen yang mempunyai keahlian dan kemampuan di bidang penilaian harga tanah. Di Indonesia, appraisal dibutuhkan karena Nilai Jual Obyek Pajak, tidak mencerminkan harga suatu tanah dan bangunan. Masih ada komponen lain yang diperhitungkan, sehingga dikenal pula harga pasar.

”Departemen PU terpaksa menender appraisal, hal ini sedikit memperlambat proses pembebasan lahan tol di Indonesia,” kata Wijaya Seta, Jumat (14/12) di Jakarta. Di Indonesia, pembebasan lahan merupakan persoalan rumit. Hingga 15 November 2007, baru 248,98 hektar lahan tol dibebaskan, dari 12.209,93 hektar yang dibutuhkan untuk pembangunan 40 ruas tol.

Kepala BPN Joyo Winoto, Rabu (28/11) lalu, pernah mengatakan akan menerbitkan lisensi appraisal pada minggu terakhir November atau paling lambat minggu pertama Desember. Tetapi, ucapan Joyo tidak terbukti.

Ditemui di Gedung DPR RI, di hari yang sama dengan saat Kompas bertemu Kepala BPN, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, mudah-mudahan pernyataan Kepala BPN dapat dibuktikan. ”Semoga saja, lisensinya (untuk appraisal independen), benar-benar dikeluarkan,” ujar Djoko.

Sikap pesimistis Djoko disebabkan sejak dikeluarkannya Peraturan Kepala BPN pada Mei lalu hingga November ini, belum ada lisensi appraisal yang dikeluarkan. (RYO)

Minggu, 14 September 2008

LOW TRUST SOCIETY



Oleh: Rhenald Kasali, Ph.D

Saya baru saja memeriksa ujian mahasiswa saya. Ketika akan menyerahkan nilai akhir Mereka, saya terpaksa menoleh kepada berita acara ujian yang mencantumkan nama beserta tanda tangan mereka masing-masing. Astaga. Tak Ada satu pun nama yang dapat saya kenali dari tanda tangannya. Hal ini mengingatkan saya pada peristiwa unik yang saya alami hampir tujuh tahunsilam ketika baru saja memulai program doktoral saya di Amerika Serikat.

Baru tiba beberapa hari, adviser saya menyuruh saya membuka bank account di bank mana saja di kota itu. Saya pun menurutinya. Maklum, tanpa punya buku cek, hidup di Amerika akan terasa sulit. Hampir semua transaksi dilakukan melalui pos. Bayar listrik, telepon, air, tagihan kartu kredit, beli buku, bayar pajak, kena tiket lalu lintas (tilang), sampai bayar uang sekolah. Semuanya menggunakan cek. Tanpa cek, hidup di Amerika kok rasanya susah sekali.

Setelah punya bank account dan mulai berbelanja dengan menggunakan cek, ternyata saya pun mengalami kesulitan. Pasalnya, petugas bank memanggil saya karena mengalami kesulitan membaca tanda tangan saya. Saya mencoba menjelaskannya bahwa itu benar tanda tangan milik saya, dan saya melakukannya kembali di depan petugas itu. Petugas tetap menolak dan mengatakan itu bukan tanda tangan. Kalau bukan tanda tangan lantas apa?

"Itu urek-urek!"ujarnya sambil tersenyum. Sejak itu saya pun mulai berlatih membuat tanda tangan baru, yaitu tanda tangan yang namanya mudah teridentifikasi. Maka, sejak saat itu saya mulai terbiasa memiliki dua jenis tanda tangan. Saya menyebutnya satu tanda tangan lokal (yang dikatakan urek-urek tadi) dan satu lagi tanda tangan Amerika. Kalau Anda pernah hadir dalam seminar saya dan meminta saya menandatangani buku saya yang Anda baru beli, Anda pasti ingat bahwa saya selalu mengatakan itu adalah tanda tangan Amerika: mudah dibaca dan diidentifikasi. Ada juga pembaca yang minta dua-duanya, dan ada kalanya saya pun meluluskannya. Tanda tangan lokal itu biasanya hanya saya gunakan untuk urusan bank Dan menandatangani transkrip nilai mahasiswa.

Dalam salah satu seminar saya pernah meminta agar para peserta menggoreskan tanda tangannya di atas kertas dan meminta rekan di sebelahnya yang baru dikenalnya mengenali nama mereka. Ternyata tak banyak di antara mereka yang dapat mengenali nama orang dari tanda tangannya. Ketika ditanya mengapa mereka membuat tanda tangan seruwet itu, semuanya menjawab bak koor: "Biar tidak mudah ditiru orang lain."

Mengapa kita semua melakukan hal yang sama? Mudah ditebak jawabnya.

Sejak kecil Kita telah diajari orang-orang tua dan guru-guru Kita agar tidak mudah percaya pada orang lain. "Buatlah tanda tangan yang tidak mudah ditiru agar jangan sampai dipalsukan orang lain." Kita menurutinya, dan tanpa kita sadari roh-roh ketidakpercayaan ini sudah melekat dalam pikiran kita. "Trust," kata Francis Fukuyama, adalah "the social virtues and the creation of prosperity." Rasa percaya adalah suatu ikatan sosial yang penting untuk menciptakan kemakmuran. Kalau tidak ada rasa percaya, mestinya tidak ada bisnis. Bagaimana mungkin kita berbinsis dengan orang yang tidak Kita percaya? Rasa percaya itu pula yang akan menentukan bangunan organisasi perusahaan saudara. Makin rendah rasa percaya kita terhadap orang lain, makin banyak pula kita melibatkan sanak saudara kita, teman sealmamater, sesuku dan sebagainya terlibat dalam bisnis kita. Kita makin menutup pintu bagi orang lain.

Dan akibatnya potensi kita untuk menjadi besar akan terhambat.

Pengalaman lainnya yang saya dapatkan di Amerika barangkali dapat menjelaskan betapa berbedanya tingkat rasa percaya. Menjelang pulang ke tanah air, setelah menyelesaikan program studi, saya pun melakukan moving sale melego barang-barang yang nilai bukunya masih cukup tinggi.

Misalnya saja Ada sebuah dish washer (mesin pencuci piring) elektrik yang usianya baru tiga tahun Dan nilainya masih cukup tinggi namun harus dilepas dengan harga yang sangat murah. Pembelinya tentu saja masyarakat komunitas tempat tinggal kami, yang umumnya adalah keluarga muda atau para mahasiswa asing yang dari mancanegara. Kalau calon pembelinya datang dari negara-negara seperti Rusia, Yugoslavia, Ceko, Turki, Portugal, Brazil, Irak, Pakistan, India, atau negara-negara Afrika, biasanya transaksi berjalan tersendat-sendat. Mereka umumnya tidak percaya terhadap kualitas mesin (apakah masih tetap baik) dan harga yang ditawarkan. Mereka mengutak-atik mesin, menghabiskan waktu berjam-jam, mengajukan pertanyaan, lalu menawar di bawah separo dari harga yang ditawarkan. Prosesnya sama seperti Anda menawar harga sepasang sepatu di pasar Senen atau pasar lainnya di Indonesia . Dan akhirnya pun dapat

diterka: tidak ada transaksi. Hal yang berbeda dialami kalau pembelinya berasal dari negara-negara yang barangkali dapat kita sebut sebagai high trust society, seperti Amerika, Inggris, Finlandia, bahkan Jepang yang rata-rata sudah lebih makmur hidupnya. Mereka cuma bertanya tiga hal:

mengapa dijual, apakah ada kerusakan, dan berapa harganya. Kalau mereka suka, mereka tidak menawar, langsung angkat. Dalam kepala mereka, kalau barang ini rusak maka mereka akan kembalikan segera. Mereka percaya bahwa orang lain dapat dipercaya, dan kalau mereka menipu mereka akan ditangkap polisi, diadili, dan dijatuhi hukuman.

Pembaca, apakah implikasi melakukan kegiatan bisnis di sebuah low trust society? Mudah-mudahan Saudara sudah dapat menangkapnya: jangan langsung melakukan transaksi. Selalu mulailah dengan membangun rasa percaya dari lawan-lawan bisnis Anda. Jangan sesekali melakukan penawaran kalau lawan bisnis Anda di sini belum mengenal betul Anda. Kalau ada jalan pintas yang dapat ditawarkan, barangkali cuma satu ini: carilah jembatan melalui orang-orang yang sudah dikenal dan dipercaya oleh lawan bisnis Anda. Tanpa itu, Anda cuma melakukan upaya sia-sia. Saya merindukan, kelak anak-anak kita akan membuat tanda tangan yang namanyadapat dibaca oleh orang lain.

Sabtu, 13 September 2008

Sekilas -Pajak Bumi Dan Bangunan -


Renungan Sekilas; PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Oleh : EKO BAYU AJI

Pajak ini kelihatan kecil untuk diurus, wajib pajak mempunyai karakteristik dari Abang Becak sampai Pengusaha kaya raya. Mengurusnya kadang rumit dan bikin repot misal pajak Rp. 20.000, aja wajib pajak rela ngotot ngajukan Keberatan dan ngomel karena tagihan PBB nya tahun kemarin Cuma Rp. 5000, katanya naiknya lebih dari 100 %.Padahal Nilai Tanahnya udah naik melebihi harga pasaran dan memang Zona Nilai tanahnya layak berubah. Yaa ini memang dilema dan kelihatannya lebih efisien jika Pemerintah Daerah langsung yang menanganinya tapi apakah itu sudah sesuai dengan realita yang ada di dunia nyata dalam praktek mereka bisa efisien dan bisa running dalam pelaksanaannya??, tapi menurut hemat penulis perlu dipertimbangkan lagi hal tersebut dengan alasan:
1. Peran Edukasi dari PBB pada bidang perpajakan
Untuk menggali potensi pajak yang lebih besar di pajak lain, PBB membawa dampak dan kesan mendidik Warga Negara NKRI ini untuk patuh dan taat pajak karena dari yang kecil ini sebenarnya sosialisasi perpajakan berjalan by system walau tanpa disadari sebenarnya.
2. Mengikat rasa memiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Bagi daerah yang potensi penerimaan PBB nya kecil tentunya akan menjerit karena selama ini mereka juga mendapatkan bagi hasil penerimaan PBB yang besar yang berasal dari daerah lainnya, hal ini sebagai pendorong pengikat NKRI karena ada semangat untuk bahu membahu terhadap daerah lainnya atau kepedulian terhadap daerah lain yang lebih minus. (ini yang sering dilupakan)
3. Pengelolaan PBB yang butuh SDM dan teknologi tinggi
Konsekuensinya PEMDA harus menyediakan tenaga ahli properti yang oleh Direktorat Jenderal Pajak sudah disiapkan 10 tahun lebih mulai dengan adanya program D3 dan sampai dengan program S1, S2,dan S3 konsentrasi Penilaian Properti dan jurusan pendukungnya seperti Geodesi maupun Geomatika, dengan menggandeng universitas ternama di Indonesia seperti STAN, ITB, UNDIP, dan UGM. Teknologi berbasis data Grafis maupun non Grafis memerlukan biaya tinggi..Apakah pihak Daerah sudah siap dengan konsekuensi mengelola obyek pajak dengan kompleksitas tinggi tersebut?
4. Keterpeliharaan Data base dan Grafis
Data Grafis yang merupakan hasil pengukuran teristris bertahun tahun dan pembenahan data akan bernasib sama dengan dinas-dinas lain yang udah berganti baju...hilang, ga kerawat, dan paling menyedihkan musnah, pembangunan sistem ini sangat mahal dan memerlukan SDM yang khusus sehingga dengan data yang tidak up date PEMDA akan kesulitan apalagi dari faktor-faktor keterbatasan mereka dan masih belum diketahuinya pemahaman filosofi PBB dari pelaksana kegiatan.
5. Pajak ini langsung berkaitan dengan Masyarakat.
Coba kita lihat dilingkungan kita saja di Lingkungan RT atau RW, dimana PBB langsung menjadikan masyarakat resah gelisah jika naik dan senang pada orang tertentu karena menganggap ” asetnya bertambah” (pendapat awam), dan coba kita tengok di Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau PBB warga akan sering kontak dengan petugas PBB dan tentunya ini secara pikiran positif merupakan kesempatan Petugas Pajak untuk dapat mensosialisasikan Pajak lainnya karena sekarang pelayanannya sudah satu Atap (KP. Pratama) dan tentunya ini salah satu media promosi paling murah pada masyarakat tanpa terasa, mereka juga tahu bahwa pelayanan DJP sudah berubah lebih baik dari kemarin yang sudah baik (menurut penulis) dan tentunya multi player effect nya akan berbeda secara edukatif pada masyarakat untuk lebih bergairah lagi mengenal,mengetahui, melaksanakan kewajiban perpajakannya secara lebih informatif dan memuaskan tentunya.

Tulisan ini memang agak kuno atau istilahnya udah basi jika melihat paradigma yang berkembang sekarang, tapi setidaknya penulis mencoba menyampaikan sumbangsih pikiran mengingat sesuatu yang dipelihara DJP selama ini jangan sampai hilang begitu saja karena filosofi PBB memang berbeda.

Dan memang selayaknyalah dan perlu dipertegas lagi bahwa Pajak Properti ini harus dikelola dengan sangat profesional untuk masa mendatang karena kalau tidak hati-hati negara kita akan memiliki sistem Pajak Properti yang kalah bersaing dari Negara lain yang mana dari Sistem Penilaian dan struktur Data base-nya sudah lebih bagus, dan kedepannya kita akan berputar putar lagi untuk membenahi basis data yang mana sekarang ini harus sering dipelihara dan diperbaharui terus yang tentunya akan memboroskan dana Anggaran Negara..Dan sebenarnya siapapun yang menangani masalah PBB harus dapat secara kesinambungan mengikuti perkembangan mengenai Pajak Properti ini yang senantiasa harus tetap merefer pada negara-negara lain yang sudah mumpuni dan tentunya tidak dapat dengan mudah menyatukan persepsi pengelolaannya dengan cara berbeda pada tiap daerah (faktor geografis dan Kultur Birokrasi kita) dan Apakah ini sudah terpikirkan?? Bagaimana Pendapat Para Pembaca Yang budiman?

Setidaknya pengelolaan Pajak ini memang harus dipertimbangkan secara matang dan mau dibawah kemana dengan perubahan tersebut akankah lebih baik atau justru sama saja atau lebih buruk lagi dan tentunya seperti Iklan Pajak .. APA KATA DUNIAAA??

Setidaknya harus ada pemikiran yang jernih untuk mengelola pajak ini, dan harus melibatkan saran dari semua pihak yang memahami dan mengerti mengenai Pajak Properti dari pihak DJP, akademisi, organisasi Penilai atau para pakar yang berkompeten sehingga keputusannya bisa lebih jernih untuk Pengelolaan lebih lanjut..

SATELIT MATA-MATA

Satelit Mata-mata untuk Lingkungan
Written on 16/05/03 at 22:37:09 GMT+07:00 by redaksi
Berita Tanah AirSatelit Mata-mata untuk Lingkungan

KETIKA perang Irak berlangsung, fasilitas Irak yang menjadi target militer Amerika Serikat sering muncul di media massa melalui rekaman satelit Ikonos. Ikonos memang punya resolusi spasial sangat tinggi, 1 meter untuk pankromatik dan 4 meter untuk multispektral, sehingga hasilnya amat jelas.

SEBENARNYA, perusahaan swasta AS lainnya DigitalGlobe, tahun 2002 meluncurkan satelit komersial dengan kemampuan mengungguli Ikonos. Quickbird, nama satelit ini, beresolusi spasial hingga 60 sentimeter dan 2,4 meter untuk moda pankromatik dan multispektral.

Kelahiran satelit inderaja resolusi tinggi (lebih halus dari 10 meter) untuk keperluan sipil sebenarnya dipicu oleh kebijakan pascaperang dingin, bukan teknologi. Bisa dikatakan teknologi militer awal tahun 1970-an sudah memungkinkan pencitraan dengan resolusi spasial kurang dari 10 meter.

Tahun 1992 Kongres AS meloloskan Undang-Undang Penginderaan Jauh Daratan (US Land Remote Sensing Act). Undang-undang ini menyebutkan industri inderaja satelit komersial sangat penting bagi kesejahteraan rakyat AS serta mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta mengembangkan, memiliki, mengoperasikan serta menjual data yang dihasilkan.

Dua tahun sesudahnya, lisensi diberikan pada Space Imaging, EarthWatch, dan OrbImage, yang kemudian merancang sistem dengan resolusi spasial 4 meter untuk moda multispektral dan 1 meter untuk moda pankromatik. Satu lisensi lagi diberikan pada West Indian Space-perusahaan patungan AS-Israel-untuk merancang sistem pencitraan dengan resolusi sedikit lebih rendah, 1,8 meter.

Dari keempat perusahaan, Space Imaging yang paling cepat meluncurkan satelit Ikonos serta memasarkan datanya. Namun, Ikonos-1 gagal diluncurkan dan digantikan Ikonos-2, 1999.

Kegagalan serupa dialami EarlyBird yang diluncurkan EarthWatch. Sedang OrbImage dan West Space Imaging masing-masing meluncurkan satelit Orbview dan EROS.

Setelah kegagalan EarlyBird, satelit Quickbird diluncurkan tahun 2000 oleh DigitalGlobe. Namun, kembali gagal. Akhirnya Quickbird-2 berhasil diluncurkan 2002 dan dengan resolusi spasial lebih tinggi, yaitu 2,4 meter (multispektral) dan 60 sentimeter (pankromatik). Citra Quickbird beresolusi spasial paling tinggi dibanding citra satelit komersial lain.

Lisensi ketat

Selain resolusi spasial sangat tinggi, keempat sistem pencitraan satelit memiliki kemiripan cara merekam, ukuran luas liputan, wilayah saluran spektral yang digunakan, serta lisensi pemanfaatan yang ketat. Keempat sistem menggunakan linear array CCD-biasa disebut pushbroom scanner. Scanner ini berupa CCD yang disusun linier dan bergerak maju seiring gerakan orbit satelit.

Jangkauan liputan satelit resolusi tinggi seperti Quickbird sempit (kurang dari 20 km) karena beresolusi tinggi dan posisi orbitnya rendah, 400-600 km di atas Bumi. Berdasarkan pengalaman penulis, dengan luas liputan 16,5 x 16,5 km², data Quickbird untuk 4 saluran ditambah 1 saluran pankromatik telah menghabiskan tempat 1,8 gigabyte. Data sebesar ini disimpan dalam 1 file tanpa kompresi pada resolusi radiometrik 16 bit per pixel.

Semua sistem menghasilkan dua macam data: multispektral pada empat saluran spektral (biru, hijau, merah, dan inframerah dekat atau B, H, M, dan IMD), serta pankromatik (PAN) yang beroperasi di wilayah gelombang tampak mata dan perluasannya. Semua saluran pankromatik, karena lebar spektrumnya mampu menghasilkan resolusi spasial jauh lebih tinggi daripada saluran-saluran multispektral.

Unsur penting lain adalah ketatnya pemberian lisensi pemanfaatan. DigitalGlobe misalnya, hanya memberikan satu jenis lisensi pemanfaatan Quickbird pada p pembeli. Jadi, bila pemerintah kota di Indonesia membeli data ini untuk keperluan perbaikan lingkungan permukiman urban misalnya, data yang sama tidak boleh digunakan untuk keperluan lain seperti pajak bumi dan bangunan (PBB).

Multispektral

Resolusi spasial tinggi ditujukan untuk mendukung aplikasi kekotaan, seperti pengenalan pola permukiman, perkembangan dan perluasan daerah terbangun. Saluran-saluran spektral B, H, M, IMD, dan PAN cenderung dipilih, karena telah terbukti efektif dalam menyajikan variasi fenomena yang terkait dengan kota.

Berdasarkan citra Quickbird wilayah Semarang bagian barat (Gambar 1), bisa dilihat jenis atapnya, misal genteng tanah liat, asbes, beton yang dicat hingga perbedaan warna tanah. Lahan yang digali dan diratakan juga dapat dibedakan secara jelas.

Kondisi vegetasi tampak jelas pada komposisi warna semu (false color), yang tersusun atas saluran-saluran B, H, IMD ataupun H, M, IMD yang masing-masing ditandai dengan urutan warna biru, hijau, dan merah. Pada citra komposit warna ini, vegetasi dengan berbagai tingkat kerapatan tampak bergradasi kemerahan.

Teknik pengolahan citra digital dengan indeks vegetasi seringkali memilih formula NDVI (normalised diference vegetation index= IMD-M/IMD+M). Indeks atau nilai piksel yang dihasilkan kemudian sering dijadikan ukuran kuantitatif tingkat kehijauan vegetasi. Apabila diterapkan di wilayah kota, maka tingkat kehijauan lingkungan urban dapat digunakan sebagai salah satu parameter kualitas lingkungan.

Untuk lahan pertanian, NDVI terkait dengan umur, kesehatan, dan kerapatan tanaman semusim, sehingga seringkali dipakai untuk menaksir tingkat produksi secara regional.

Metode analisis

Kehadiran Quickbird dan Ikonos telah melahirkan ’eforia baru’ pada praktisi inderaja yang jenuh dengan penggunaan metode baku analisis citra berbasis Landsat dan SPOT. Klasifikasi multispektral standar berdasarkan resolusi spasial sekitar 20-30 meter seringkali dianggap kurang halus untuk kajian wilayah pertanian dan urban di Jawa. Model-model dengan knowledge-based techniques (KBT) yang berbasis Landsat dan SPOT umumnya tidak tersedia dalam menu baku di perangkat lunak komersial, dan lebih sulit dioperasikan.

Quickbird menjawab kebutuhan itu. Resolusi 60 cm bila dipadukan dengan saluran multispektralnya akan menghasilkan pan-sharped image, yang mampu menonjolkan variasi obyek hingga marka jalan dan tembok penjara (Gambar 2). Citra ini mudah sekali diinterpretasi secara visual.

Meski demikian, para pakar inderaja saat ini masih bergulat dengan pengembangan metode ekstraksi informasi otomatis berbasis citra resolusi tinggi seperti Quickbird. Resolusi spasial yang sangat tinggi pada Quickbird telah melahirkan masalah baru dalam inderaja digital, di mana respons spektral obyek tidak berhubungan langsung dengan karakter obyek secara utuh, melainkan bagian-bagiannya.

Bayangkan citra multispektral SPOT-5 beresolusi 10 meter, maka dengan relatif mudah jaringan jalan dapat kita klasifikasi secara otomatis ke dalam kategori-kategori ’jalan aspal’, ’jalan beton’, dan ’jalan tanah’, karena jalan-jalan selebar sekitar 5 hingga 12 meter akan dikenali sebagai piksel-piksel dengan nilai tertentu. Namun, pada resolusi 60 cm, jalan selebar 15 meter akan terisi dengan pedagang kakilima, marka jalan, pengendara motor, dan bahkan koran yang tergeletak di tengah jalan.

Projo Danoedoro Peneliti bidang Geographic Information Science, tinggal di Brisbane, Australia

Sumber:
Kompas
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/13/inspirasi/307922.htm
Kontribusi: Pak Projo

PAJAK DALAM TRANSAKSI PROPERTY

Pajak dalam Transaksi Apartemen

Tuesday, 07 March 2006

OLEH: HERU NARWANTO

Pajak bukan hanya dikenakan dalam transaksi jual beli apartemen. Dalam hal sewa menyewa pun, ada pajak yang harus dibayar.

Masalah pajak apartemen sering kurang mendapat perhatian calon konsumen. Mereka biasanya sudah puas mendapatkan informasi tentang harga, besarnya diskon, cara pembayaran, dan fasilitas yang akan didapat. Jarang sekali yang bertanya tentang pajak yang harus dibayar ketika hendak membeli apartemen.

Developer pun tidak semuanya menjelaskan hal itu sejak awal. Konsumen baru kaget setelah belakangan tahu kewajiban pajak yang harus dibayarnya ternyata tidak kecil.

Ada tiga jenis pajak yang menjadi kewajiban konsumen jika membeli unit apartemen. Pertama, PPn BM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) sebesar 20 persen dari nilai transaksi atau harga apartemen. Yang terkena ketentuan ini adalah apartemen dengan luas mulai dari 150 m2 ke atas, dan atau nilai bangunannya mulai dari Rp4 juta/m2 ke atas, tidak termasuk nilai tanah. Di luar kriteria itu tidak kena PPnBM.

Kedua, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 10 persen dari nilai transaksi. Pajak ini tak ada batasannya. Berapapun nilai transaksinya terkena PPN.

Ketiga, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Besarnya lima persen dari nilai transaksi setelah dikurangi NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak). Untuk wilayah DKI Jakarta NPOPTKP adalah Rp60 juta. Kalau nilai transaksi lebih tinggi dibanding nilai NJOP, dasar pengenaan BPHTB dari nilai transaksi. Sebaliknya jika NJOP yang lebih tinggi, BPHTB dihitung dari NJOP.

Namun, ketentuan tentang PPnBM dan PPN itu hanya berlaku untuk transaksi dari developer kepada pembeli pertama. Bila transaksi antar-individu tidak perlu membayar PPnBM dan PPN. Cukup membayar BPHTB.

Contoh, si A membeli apartemen 160 m2 dari PT Delima Mekar (developer), maka berlaku PPnBM 20 persen, PPN 10 persen, dan BPHTB 5 persen. Secara keseluruhan pajak apartemen yang harus dibayar konsumen pertama (membeli dari developer) kurang lebih 35 persen dari nilai transaksi.

Artinya, seseorang yang membeli apartemen, katakanlah seharga Rp600 juta di DKI Jakarta, harus merogoh kocek sekitar Rp207 juta untuk membayar pajak saja. Tak ada celah untuk mengelak termasuk meminta keringanan, karena ketentuan ini sifatnya baku.

Heru Narwanto, Adv. Adv. Dip. Est.Mgmt., Msi

Pemerhati masalah property appraisal dan konsultan Riset Majalah ESTATE

Kekayaan Negara

Kekayaan Negara
Aktivitas Penilaian Properti Masih Bersifat Sektoral
Senin, 11 Juni 2007

YOGYAKARTA, KOMPAS - Nilai pasar properti yang menjadi nilai tunggal atau single value for multipurposes diperlukan untuk memfasilitasi berbagai kepentingan penilaian properti. Hasil penilaian sendiri akan bermanfaat dalam penentuan nilai aset yang akan menjadi data dasar pengambilan kebijakan.

Dalam Seminar Nasional "Pentingnya Penguatan Institusi Penilaian dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang Penilaian di Indonesia: Realitas Masa Kini dan Tantangan Masa Mendatang" di Hotel Hyatt Regency, Sabtu (9/6), Direktur Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan RI Hadiyanto mengungkapkan, single value for multipurposes (SVMP) diperlukan karena banyak instansi pemerintah yang melakukan aktivitas penilaian properti dan sampai saat ini penilaian-penilaian tersebut masih bersifat sektoral.

"Penilaian properti selama ini masih menggunakan metode yang sangat sederhana, terkadang hanya sekadar mengukur fisik properti saja," kata Hadiyanto. Penilaian pun masih bersifat sektoral karena dilakukan dengan tujuan dan hasil penilaian yang berbeda-beda, sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Hadiyanto menambahkan, Indonesia juga masih menghadapi tantangan keterbatasan penyediaan data untuk kepentingan penilaian. "Informasi harga transaksi atau penawaran dari penjual, pembeli, broker, agen, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah kuantitasnya masih terbatas. Informasi itu juga tidak transparan dan sulit diakses," ungkapnya mencontohkan.

Independen

Selain itu, sampai saat ini belum ada lembaga independen yang menilai, mengelola, dan menyediakan informasi mengenai Nilai Pasar Properti. Padahal, informasi-informasi ini akan sangat bermanfaat mewujudkan basis data nilai untuk berbagai kepentingan atau value database for multipurposes (VDMP). VDMP sendiri diharapkan dapat menjadi tolok ukur atau benchmark berbagai kepentingan penilaian aset.

Apalagi, jumlah dan jenis kekayaan negara tersebar di seluruh Indonesia. Kekayaan negara sebagai representasi kepentingan publik juga akan mengakibatkan nilai kekayaan negara menjadi representasi publik.

Sementara itu, dosen Magister Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Insukindro mengingatkan penilaian kekayaan negara dan daerah tidak bisa dilakukan hanya dengan satu metode saja. Ia memaparkan pendekatan triangulasi yang mempertimbangkan risiko, ketersediaan bahan, dan informasi terkait pasar. (AB3)

News-appraisal

Penilaian Aset Negara Butuh Penilai Independen

Jum'at, 18 April 2008 | 19:19 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:
Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) menilai aset negara seharusnya dinilai oleh penilai independen. Ketua Umum MAPPI, Hamid Yusuf, mengatakan penilai independen itu mutlak diperlukan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat dan benar. Tapi masalahnya hingga kini Indonesia belum memiliki payung hukum tentang jasa penilai.

Regulasi tentang jasa penilai saat ini baru sebatas Keputusan Menteri Keuangan No 57 tahun 1996 tentang jasa penilaian. Karena itu rancangan undang-undang tentang penilaian yang masih dalam proses penyusunan dapat segera diselesaikan. Dengan adanya jasa penilai independen ini, penilaian aset negara dapat lebih dilakuakn secara transparan .

“Sayang sekali kalau terus ada aset-aset negara yang hilang entah kenapa,” kata Hamid. Saat ini penilai pemerintah tersebar di beberapa instansi seperti direktorat jenderal pajak, direktorat jenderal kekayaan negara, dan instansi di bawah pemerintahan daerah. Penilai lainnya adalah Badan Pertanahan Nasional, Badan Pemeriksaan Keuangan, dan Komisi Pemberantas Korupsi.

Modernisasi integritas pajak

Sumber : Bisnis Indonesia
Tanggal : 03 April 2006

Modernisasi integritas pajak

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati rupanya "kesengsem" dengan
keberhasilan modernisasi kantor pajak, yang membuat penerimaannya
melonjak antara 30% hingga 40% dibandingkan sebelum dimodernisasi. Atas
dasar itu, Menteri merencanakan untuk memodernisasikan seluruh kantor
pajak yang ada di Indonesia.
Memodernisasi kantor pajak memang sudah seharusnya merupakan prioritas
tinggi karena ketergantungan pemerintah pada penerimaan pajak juga
sangat besar. Hampir 80% penerimaan APBN bersumber dari penerimaan
perpajakan.
Namun, jika modernisasi tersebut dikarenakan penerimaan di salah satu
KPP modern (dalam hal ini KPP Tebet, Jakarta Selatan) yang melonjak
hingga 40%, dan berharap setelah semua kantor pajak dimodernisasi maka
penerimaan pajak secara nasional melonjak 40%, Menteri Keuangan bisa
salah hitung.
Ada beberapa faktor yang harus diperhitungkan, a.l. pertama, perubahan
dari KPP biasa menjadi KPP modern biasanya diikuti dengan perubahan
sebagian wajib pajak. Sehingga tidak otomatis pertumbuhan penerimaan
tersebut dipengaruhi oleh faktor modernisasi. Pengaruh modernisasi
harus dilihat pada masing-masing WP, antara sebelum dan sesudah menjadi
WP di KPP modern.
Kedua, pertumbuhan penerimaan pajak dari tahun ke tahun rata-rata
tumbuh antara 20% hingga 25%. Sehingga bila di satu KPP pertumbuhan
penerimaan pajak mencapai 40%, tidak bisa seluruh angka pertumbuhan itu
diklaim sebagai keberhasilan modernisasi.
Ketiga, pengaruh eksternal (kondisi keuangan WP) terhadap penerimaan
pajak jauh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh internal kantor
pajak (modernisasi administrasi dan pelayanan pajak).
Untuk itu, modernisasi kantor pajak harus dilihat sebagai apresiasi
pemerintah kepada wajib pajak. Baik dan buruknya pemerintahan bisa
dilihat dari bagaimana cara kerja kantor pajak. Jika pelayanan di
kantor pajak buruk, jangan harap pelayanan publik di tempat lain akan
lebih baik. Logika yang sederhana.
Selain itu, Menteri Keuangan juga harus menjawab pertanyaan yang
berkembang di masyarakat. Mengapa modernisasi dimulai dari kantor
pelayanan pajak (tingkat operasional) bukan dari kantor pusat?
Idealnya modernisasi bisa dilakukan secara serempak, di kantor pusat
yang menjadi dapur kebijakan dan di kantor pelayanan yang menjadi ujung
tombak (outlet). Namun, jika karena satu dan lain hal (seperti
keterbatasan dana), mana yang lebih urgent untuk dimodernisasi: Kantor
pusat atau kantor pelayanan?
Salah satu sifat atau perbedaan yang mencolok, di KPP modern diterapkan
kode etik pegawai yang lebih ketat. Pengawasan pegawai di KPP modern
jauh lebih tegas. Sampai-sampai ada larangan bagi pegawai di KPP modern
untuk makan siang bersama WP. Sistem ini bisa diterapkan karena mereka
memang sudah melalui seleksi yang ketat serta mendapat sistem
penggajian yang jauh lebih memadai.
Namun, penerapan dua sistem dalam satu institusi ini juga menimbulkan
pertanyaan. Ada kesan pegawai pajak di KPP modern makan siang bersama
tidak boleh, tapi pegawai di KPP biasa, apa saja boleh. Sehingga muncul
guyonan di antara pegawai pajak. Mereka yang bekerja di di KPP modern
menyebut dirinya sudah syariah, sementara yang ada di KPP biasa
menyebut dirinya syori-ah (baca: sorry ah).
Menteri Keuangan yang datang dari kalangan akademisi tentu sangat paham
bahwa modernisasi tidak terbatas pada alat dan perangkat, tapi yang
jauh lebih penting adalah modernisasi mental dan integritas aparat
pajak.

AKTUALITAS NJOP

Banyak NJOP Dibawah Harga Pasar
oleh ant pada 25-04-2008

SEMARANG (Joglosemar): Banyak wilayah atau tanah yang nilai jual objek pajak (NJOP)-nya masih jauh di bawah harga pasar. Padahal NJOP sebagai dasar penetapan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jateng I, Dedi Rodaedi Kamis, (24/4) mengatakan, suatu wilayah yang dihuni masyarakat dibagi menjadi tanah berkembang pesat, kurang berkembang, dan tidak berkembang sama sekali.
Ia mengatakan, karena perkembangan suatu wilayah berbeda-beda, maka NJOP yang merupakan dasar penetapan PBB juga akan berbeda. Ada daerah yang setiap tahun berkembang maka NJOP akan disesuaikan terus. Tetapi ada wilayah yang dua atau tiga tahun baru disesuaikan NJOP-nya.
“Saat ini, yang terjadi NJOP masih jauh berada di bawah harga pasar. Idealnya adalah NJOP sama atau mendekati dengan nilai harga pasar agar penentuan besaran PBB menjadi lebih fair,” katanya.
Secara logika, katanya, bagi tanah yang nilai harga pasarnya tinggi tentu membayar PBB juga lebih tinggi. “Permasalahannya di Dirjen Pajak, kita tidak punya cukup orang untuk setiap saat melakukan pendataan dan penilaian secara detail, karena begitu luas wilayah tidak terjangkau oleh petugas yang ada,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, wilayah yang pertumbuhannya cukup pesat dilakukan pendataan wilayah setiap tahun. Sementara wilayah yang belum berkembang dilakukan pendataan dua atau tiga tahun sekali akibatnya NJOP melonjak karena baru disesuaikan dua atau tiga tahun sekali. (ant)

STRATEGI PEMASARAN

Rabu, 2008 Mei 07
Starbucks Coffee : 5 Prinsip Pelayanan
0 komentar

apa yang perusahaan alami di era hypercompetitive sekarang ini? Perang harga yang tidak ada hentinya? Perang hadiah yang gila-gilaan? Produk dan strategi bisnis yang cepat usang? Pelanggan yang semakin kritis? Semakin sulit mempertahankan pelanggan?

Maraknya dinamika persaingan bisnis abad 21, saya teringat buku yang pernah saya baca : The Starbucks Experience, tulisan Joseph A. Michelli. Buku tersebut mengisahkan kegemilangan Starbucks Coffee dalam mengembangkan kerajaan bisnis kedai kopi, sehingga menjadi salah satu brand terbaik di dunia. Buku tersebut menceritakan pula bagaimana Starbucks Coffee meraih kompetensi bisnisnya melalui implementasi prinsip-prinsip dan filosofi pelayanan unggul.

Inilah faktor fundamental terpenting yang membuat mereka sukses luar biasa. Selain program pemasaran eksternal yang dijalankan, kekuatan Starbucks justru ada pada invasi pemasaran internal karyawannya. Program pemasaran visi, internalisasi nilai-nilai, prinsip dan filosofi bisnis Starbucks yang menggedor kuat seluruh karyawan, membakar "jihad kerja" mereka untuk memberikan layanan luar biasa kepada konsumen.

Starbucks Experience memiliki 5 (lima ) prinsip dasar :

1. Make it your own ( jadikan itu milikmu )
2. Everything matters ( semuanya penting )
3. Surprise and delight ( kejutan dan hiburan )
4. Embrace resistence ( hargai penolakan )
5. Leave your mark ( tinggalkan jejak )

Dalam konteks bagaimana "mengoperasionalkan" prinsip yang pertama, terdapat lima cara, yaitu : be welcoming ( menyambut ), be genuine ( tulus ), be considerate ( memahami kebutuhan ), be knowledgeable ( berpengetahuan ), dan be involved ( terlibat antusias dalam perusahaan dan komunitas ).

Prinsip yang kedua, segalanya adalah penting. Masih ingat pepatah everything is brand? Jangan lupakan hal-hal yang kecil dan detil untuk menghasilkan proses yang sempurna. Jangan lupakan kebersihan toilet, kertas tisu, katalog pesanan, bungkus kopi, tempat duduk, dan lain-lain. Singkat kata, semuanya penting. Kegagalan dalam pelayanan dapat terjadi karena adanya masalah kecil yang terabaikan.

Prinsip yang ketiga, berikan kejutan dan hiburan. Bahkan kalau perlu abaikan prosedur untuk menciptakan kesan pelanggan yang mendalam. Intinya, lihat permasalahan dan kebutuhan solusi yang ada, masuk dan berikan kejutan tersebut secara alami dan spontan.

Prinsip yang keempat-sesuatu yang terlihat sederhana namun kita akui tidak gampang menerapkannya-adalah menghargai penolakan, mau mendengarkan sepenuh hati kritik dan masukan dari para pelanggan. Kunci penolakan adalah dengan mendengarkan. Bila terjadi kesalahan, ambil tanggung jawab secara langsung dan tindakan perbaikan. Kritik dan saran ditempatkan sebagai suatu "produk informasi" yang sangat berharga bagi Starbucks Coffee untuk memperbaiki kualitas layanannya.

Prinsip yang terakhir adalah tinggalkan jejak. Kedai kopi dengan logo berwarna hijau ini aktif dalam berbagai program CSR, memberikan "warisan" positif bagi komunitas lingkungannya. Untuk itu mereka membangun kegiatan CSR melalui 4 ( empat ) program komitment berkelanjutan yang sangat terkenal, yakni : Commitment to Origins, Commitment to Environment, Commitment to Communities, dan Commitment to Partners.

Kisah pengalaman Starbucks Coffee memang memberikan pelajaran yang amat menarik. Sebuah cerita budaya perusahaan yang unggul, sarat dengan inspirasi-inspirasi nan mengesankan.

Mari kita simak slide presentasi sederhana di bawah ini, bagaimana seputar perkembangan dan strategi bisnis Starbuck Coffee yang dijalankan...

KENAPA NJOP


Sunday, September 14, 2008Saturday, March 08, 2008
Search

DISADUR DARI: Mataku Matai
MONDAY, MAY 21, 2007
Kenapa Harus NJOP
Nilai jual objek pajak (NJOP) sejatinya adalah dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.Tetapi pada kenyataanya NJOP digunakan untuk kepentingan diluar penerimaan pajak. Contoh penggunaan NJOP diluar pajak antara lain :
transaksi jual-beli,penetapan limit lelang,Ganti rugi, seperti yang disebutkan dalam pasal 15 ayat 1 point a Peraturan Presiden RI No.65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden RI No.36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau Nilai nyata / sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunujk oleh panitia
Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana disebutkan dalam UU No.21 tahun 1997 j.o. UU No 20 tahun 2000 pasal 6 ayat 3
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Dalam penentuan NJOP digunakan 3 pendekatan yaitu pendekatan perbandingan data pasar (market comparison approach), pendekatan biaya (cost approach) dan pendekatan pengkapitalisasian pendapatan (income approach).Untuk pelaksanaan penilaian nilai tanah di dapat dari Nilai Indikasi Rata-rata (NIR) sedangkan nilai bangunan diperoleh dari analisa BOW yang terangkum dalam DBKB (daftar biaya komponen bangunan).Selanjutnya nilai tanah dan bangunan yang telah diperoleh diklasifikasian kedalam kelas-kelas untuk penentuan NJOP.

Terus kenapa harus NJOP dijadikan dasar acuan untuk kepentingan diluar Pajak Bumi dan Bangunan? Saya berpendapat bahwa sampai saat ini belum ada produk hukum (peraturan) atau lembaga (badan hukum) yang mempunyai keputusan untuk nilai / harga tanah.Untuk mengatasinya kiranya perlu ada lemabaga semacam land banking yang mengatur dan menetapkan dasar atas nilai/harga tanah, sehingga didapat kesamaan dan kepastian hukumnya.

HARGA - MUSYAWARAH

www.kontan-online.com No. 18, Tahun XI, 5 Februari 2007

Metro

Pasang Harga buat Bekal Musyawarah
Warga Depok menuntut ganti rugi tinggi untuk lahan tol Jagorawi-Cinere
Pembebasan lahan bakal tol Jagorawi-Cinere baru memasuki tahap inventarisasi, namun warga yang bakal tergusur mulai ancang-ancang memasang harga. Pemerintah Kota Depok sedang mempersiapkan tender pemilihan tim penilai independen.
Hasbi Maulana, Suhendra

Sungguh, rencana pembangunan jalan tol di dalam kota ibarat buah simalakama. Sebagian besar orang menyambut antusias rencana seperti itu, namun sebagian warga masyarakat yang lain justru berdebar cemas menanti realisasinya. Yang bergairah tentu berharap ruas tol baru akan membuat akses lalu lintas menjadi semakin lancar. Sebaliknya, para pemilik rumah dan lahan yang bakal tergusur gelisah, bahkan marah, lantaran khawatir tanah atau bangunan mereka bakal dihargai terlalu murah. Persamaan di antara dua golongan itu hanya satu: sama-sama kudu sabar menanti kepastian.

Itu pula yang terjadi pada masyarakat di Depok. Sudahlah, kita tak usah membicarakan warga yang bersukacita lantaran bakal mendapat tol baru Jagorawi-Cinere. Nasib mereka yang akan tergusur lebih layak untuk mendapatkan perhatian. Setelah hampir setahun lalu mendengar kabar bahwa tanah dan rumah mereka bakal tergusur proyek jalan tol, hingga kini mereka belum mendapat kepastian ganti rugi.

Saat ini Pemerintah Kota (Pemkot) Depok masih melakukan inventarisasi. "Panitia P2T sedang melakukan inventarisasi tanah, bangunan, dan tanaman. Saat ini kami sudah melakukannya sepanjang 5 kilometer di seksi satu," kata La Theo Dasilva, Kepala Sub-Bagian Pemerintahan Umum Kota Depok yang menjadi Ketua Panitia Pengadaan Tanah (P2T).

Setelah inventarisasi seluruh lahan selesai nanti, masyarakat yang bakal tergusur bisa terlibat menentukan nasib mereka sendiri. Pemkot Depok akan mengumumkan hasil inventarisasi tanah, bangunan, serta tanaman yang ada. Kalau pengumuman itu tak sesuai dengan fakta lapangan atau data yang mereka miliki, penduduk boleh menyanggahnya. Sayangnya, waktu untuk menyanggah cuma satu minggu. "Proses inventarisasi seksi satu akan selesai pertengahan Februari 2007," tutur Theo.

Itu baru tangga kedua dalam jenjang prosedur penentuan ganti rugi yang cukup panjang. Setelah tak ada persoalan inventarisasi, P2T akan melakukan nominasi di tingkat kelurahan, kecamatan, hingga tingkat walikota. Nominasi adalah pencatatan daftar para calon penerima ganti rugi. Setelah semua beres, baru akan terbentuk forum musyawarah yang akan dihadiri perwakilan masyarakat calon tergusur, P2T, walikota, serta Tim Pengadaan Tanah Departemen Pekerjaan Umum. Di forum itulah pembicaraan soal harga ganti rugi mulai mengemuka. "Walikota akan mendengar masukan dari sebuah tim penaksir independen," kata Theo. "Tim ini akan dipilih melalui tender terbuka, mudah-mudahan Februari nanti," sambungnya.

Tim penaksir tanah independen inilah yang akan mengeluarkan angka taksiran harga tanah penduduk yang bakal dipakai untuk membangun jalur tol sepanjang 14,7 km itu. Tentu saja, angka yang mereka kemukakan belum harga mati. "Semuanya perlu dimusyawarahkan dengan memperhatikan hak kepemilikan tanah, letak secara ekonomis, secara strategis," jelas Theo lagi. Musyawarah hanya membahas harga tanah, sedangkan harga bangunan dan tanaman akan memakai patokan ganti rugi yang sudah berlaku di Depok.

Hasil musyawarah itulah yang akan dipakai sebagai patokan ganti rugi. "Selama ini kita menetapkan ganti rugi berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) wilayah bersangkutan. Kami tidak bisa melakukan ganti untung," tandas Hisnu Pawenang, Ketua Badan Pengelola Jalan Tol. Terhadap tanah yang memiliki harga pasar di atas NJOP, menurut Hisnu, biasanya pemerintah menggunakan rumus NJOP ditambah harga pasar, lalu dibagi dua.

Warga membentuk tim negosiator

Bagaimana kalau musyawarah tak menghasilkan kesepakatan? Apa boleh buat, pemerintah akan memanfaatkan kekuatan yang ada pada Peraturan Presiden Nomor 36 jo 65 tahun 2006. "Kemungkinan akan ada pencabutan hak atas tanah atau melakukan penitipan uang di pengadilan negeri," kata Theo. Mari kita berdoa jangan sampai itu terjadi.

Tapi, seberapa besar kemungkinan tercapai titik temu antara masyarakat dan Pemkot Depok dalam menentukan harga tanah nanti? Entahlah. Yang jelas, sebagian masyarakat yang bakal tergusur sudah pasang harga. "Kami, sih, inginnya harga yang layak, syukur-syukur bisa mencapai Rp 3 juta per meter persegi. Jangan sampai setelah tergusur kami tidak bisa membeli tanah lagi," kata Bonin, seorang warga Kelurahan Harjamukti. Harga pasaran tanah di sekitarnya, menurut Bonin, antara Rp 500.000 per m2 Rp 1 juta per m2. "Harga lebih tinggi agar memberi kompensasi bagi warga yang lokasinya strategis secara ekonomis," sambung Bonin.

Tak semua warga sudah menghitung-hitung duit yang bakal mereka kantongi. Masyarakat di Kelurahan Cisalak Pasar, misalnya, masih keberatan jalur tol Jagorawi-Cinere nanti bakal menggusur mereka. "Sebenarnya kami keberatan karena tanah ini tanah kelahiran saya," kata Aminah. Maryati juga menyampaikan nada yang sama, hanya alasannya sungguh logis. "Tempat tinggal kami sudah sangat strategis. Selain dekat jalan raya juga dekat dengan pasar," katanya. Sesuai dengan namanya, wilayah Cisalak Pasar memang berbatasan langsung dengan Jalan Raya Bogor dan Pasar Cisalak yang ramai.

Persiapan yang lebih matang tampak dilakukan warga Blok EE Raffles Hills. Penduduk yang rumahnya bakal tergusur sudah membentuk tim negosiator. Tim khusus itulah yang nanti mewakili warga merundingkan harga tanah mereka. Sayangnya, tim ini bersikap hati-hati. Cherry, salah seorang anggota tim yang ditemui KONTAN, terkesan enggan berbicara banyak. "Belum tahu ya, nanti kita tunggu saja. Kami akan mengeluarkan press release," katanya.

Seorang warga setempat yang enggan disebut identitasnya mengaku bahwa umumnya masyarakat di sana menginginkan harga di atas Rp 5 juta per m2. "Beberapa tahun lalu saya beli dengan harga masih Rp 1,1 juta, tapi sekarang NJOP-nya Rp 1,2 juta. Harga pasaran sekitar Rp 1, 3 juta sampai Rp 1, 5 juta," katanya. Lantas dari mana angka Rp 5 juta berasal? "Kerugian yang kami tanggung bukan hanya material, namun juga kerugian imaterial. Kenyamanan kami sangat terganggu dengan adanya proyek ini," tandasnya.

Fuad Hasan, warga Raffles Hills di Blok EE 1/29, bertutur lebih lugas. "Saya, sih, ingin harga tanah nanti di atas Rp 5 jutaan, lah. Ya antara Rp 6 juta sampai Rp 7 juta per meter. Lagian kenapa, sih, pemerintah memilih jalur perumahan elite? Ganti ruginya mahal," katanya.

Ya, moga-moga, kelak tak ada aksi blokade jalan tol karena ganti rugi yang belum beres.
+++++

Sudah Ada Patokan Harga Tanaman dan Bangunan

Berbeda dengan harga tanah, masyarakat tak bisa tawar menawar ganti rugi untuk tanaman dan bangunan. Kami berpatokan pada SK Walikota Depok yang diperbarui setiap dua tahun sekali," kata Nuraeni Widayatti, Kepala Bidang Tanaman, Dinas Pertanian Depok.

Berdasar hasil pantauan di lapangan, tanaman masyarakat warga Depok lebih banyak berupa rambutan dan belimbing. Harga ganti rugi pohon rambutan antara Rp 30.000 sampai Rp 350.000, sedangkan harga ganti rugi belimbing antara Rp 30.000 hingga Rp 432.000 per pohon. "Harga pastinya, biasanya kami meminta masukan dari pemilik. Umumya, sih, kami setuju-setuju saja asalkan sesuai dengan kenyataan," tuturnya.

Adapun penentuan besar ganti rugi bangunan tak sesederhana itu. "Kami memiliki harga-harga satuan yang nantinya dimasukkan dalam format-format harga taksiran," kata Rinza Ekoyanto, Kepala Bidang Tata Bangunan, Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Depok. Rumus hitungannya cukup rumit, selain disesuaikan dengan materi bangunan juga memperhitungkan umur bangunan. Contohnya, harga ganti rugi marmer Citatah Rp 455.000 per m2. Itu belum termasuk penyusutan nilai yang besarnya bisa mencapai 2% per tahun.
www.kontan-online.com

ACUAN GANTI RUGI

Sunday, September 14, 2008Saturday, March 08, 2008
Search


News
Kompas, 01-Agustus-2006


Ganti Rugi Tol Mengacu Pada Musyawarah, Bukan NJOP

Depok, Kompas- Pembayaran ganti rugi dua jalan tol Depok, yaitu tol Cinere-Cimanggis-Jagorawi dan tol Pangeran Antasari-Sawangan-Citayam, mengacu pada musyawarah pemilik lahan dengan Panitia Pengadaan Tanah (P2T), bukan dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).



Depok, Kompas- Pembayaran ganti rugi dua jalan tol Depok, yaitu tol Cinere-Cimanggis-Jagorawi dan tol Pangeran Antasari-Sawangan-Citayam, mengacu pada musyawarah pemilik lahan dengan Panitia Pengadaan Tanah (P2T), bukan dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).



Wali Kota Depok Nur Mahmudi Isma'il mengungkapkan hal ini kepada pers di ruang kerjanya Senin (31/7) siang. Menurut dia, pemkot bertugas membebaskan lahan untuk proyek dua tol.



"Sebagai Ketua P2T, saya mengacu pada detail engineering design (DED) jalan tol. Tak ada kompromi lagi. Jadi pemilik rumah yang akan tergusur, harus merelakannya, termasuk rumah-rumah di Raffles Hills Cibubur," kata Nur Mahmudi.



Namun demikian, P2T tetap membuka ruang musyawarah, seperti misalnya membantu mencari tempat relokasi. "Yang pasti, tidak ada istilah dirugikan. Kami mengacu pada musyawarah, bukan NJOP," jelasnya.



NJOP memang salah satu rujukan nilai ganti rugi, selain nilai dari tim penaksir harga yang bekerja profesional. "P2T akan mengacu pada hasil musyawarah dengan warga pemilik lahan," katanya.



Nur Mahmudi mengakui Surat Penetapan Lokasi Pembangunan (SPLP) belum ditandatanganinya. Tapi ia memastikan begitu SPLP selesai ditandatanganinya, sosialisasi pembebasan lahan tol dimulai. "Proyek dua jalan tol di Depok harus dimulai tahun 2006, dan harus sudah beroperasi tahun 2009," katanya.



Sebagai Ketua P2T, Wali Kota Depok siap memimpin pembebasan lahan tol. "Keppres mengamanatkan hak pemilik tanah harus dihormati. Kami tak ingin kasus tanah tol di Cikunir Bekasi terulang di Depok," ujarnya.



Sejumlah perumahan akan tergusur proyek tol Cinere-Cimanggis-Jagorawi -Cibubur adalah sebagian rumah Raffles Hills di Cibubur, Harapan Baru Taman Bunga, Kompleks Pelni, Taman Duta, Pesona Kayangan, Kompleks Karyawan Pertamina, Depkop, Ditku TNI AD, Graha Cinere.



Sedang rumah bakal tergusur proyek tol P. Antasari-Sawangan-Citayam antara lain Griya Sekar Melati, Bukit Cinere (Gandul), Krukut, memotong Jalan Swadaya (Limo), Jl Samudra (Rangkapan Jaya), Jl Keadilan, Gg H Nasir, Cipayung Jaya, Gg Pertanian, Citayam. (KSP)
Proyek Tol Depok-Antasari

Ganti Rugi Tanah Sesuai Harga Pasar
Jum'at, 23 November 2007 | 18:46 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, menegaskan bahwa pemerintah akan membayar ganti rugi tanah untuk proyek jalan tol Depok-Antasari sesuai harga pasar. Pemerintah tidak akan membayar harga tanah yang sangat tinggi seperti permintaan masyarakat.

Saat ini, kata dia, pemerintah masih membahas masalah pembebasan lahan yang mengancam keberlangsungan proyek jalan tol ini. Sebab kebutuhan dana untuk pembebasan lahan di ruas tol itu membengkak hingga Rp 1,2 triliun dari sebelumnya Rp 700 miliar.

"Bila sudah tidak bisa bernegosiasi lagi dan pemerintah menganggap harga sudah tak wajar, maka akan ada tim penaksir independen," kata Djoko di kantornya, Jakarta. Pemerintah akan membayar berapa pun harga yang ditentukan penaksir berlisensi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Daru Priyambodo, warga Cimanggis, mengkritik penjelasan Djoko. Menurut dia, penawaran oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T) adalah penawaran berdasarkan NJOP, nilai jual, dan tim apraisal independen. "Jadi apa lagi yang mau diapraisal?," katanya. "Masalahnya bukan tim apraisal atau bukan, tapi nilai ganti rugi yang ditetapkan belum memadai."

Rieka Rahadiana | Jobpie S.

KAJIAN PEMBEBASAN TANAH

MENTERI PU: PEMDA JANGAN RAGU GUNAKAN PERPRES 36 TAHUN 2005

Pemerintah Daerah yang akan membebaskan tanah tidak perlu ragu lagi dalam menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 tahun 2005, yang sebenarnya sudah berlaku sejak ditandatangani. "Perpres itu sudah berlaku sejak ditandatangani. Oleh karena itu segera kita laksanakan saja," tegas Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, pada saat jumpa pers yang didampingi oleh Dirjen Bina Marga Hendrianto Notosoegondo dan Direktur Utama PT. Jasa Marga Syarifudin Alambai, Rabu (22/6) Jakarta .

Menurutnya, semua pengadaan lahan untuk fasilitas umum saat ini sudah dapat menggunakan prosedur yang ditetapkan Perpres No. 36 tahun 2005, menggantikan Keppres 55 tahun 1993 yang memiliki banyak kelemahan. Pembebasan tanah yang tidak bermasalah saat ini sudah mengacu kepada Perpres 36 tahun 2005, harapan pemerintah tidak ada lagi masalah dalam pembebasan lahan, bahkan jangan sampai terjadi pencabutan hak atas tanah, kata Menteri PU.

Banyaknya pembangunan infrastuktur untuk kepentingan umum yang terhenti akibat proses pengadaan tanahnya yang berlarut-larut kata Djoko Kirmanto, utamanya disebabkan oleh aksi para spekulan tanah. Hal itu mengakibatkan banyak pembangunan infrastruktur yang terpaksa terhenti oleh ulah spekulan tanah. Menteri mencontohkan, seperti proyek Banjir Kanal Timur (BKT) , yang tidak selesai-selesai karena terkendala pembebasan tanah, padahal kalau tidak segera diselesaikan, masyarakat yang tinggal di Jakarta Timur akan kebanjiran terus.

Sedangkan masalah pembebasan tanah yang juga menghambat pembangunan jalan tol seperti JORR, menurut Djoko yang dirugikan tidak hanya investornya namun juga masyarakat banyak. ”kalau JORR cepat selesai, maka truk-truk besar akan kita arahkan untuk tidak menggunakan jalan tol dalam kota, sehingga pengguna tol dalam kota bisa menggunakannya lebih leluasa” kata Djoko.

Menurutnya keluarnya Perpres tersebut dalam upaya pemerintah menyediakan infrastruktur untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperbaiki daya saing ekonomi nasional, sehingga dalam hal pengadaan tanahnya dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan hak-hak yang sah atas tanah.

Besarnya ganti rugi tandas Djoko Kirmanto tidak semata-mata atas dasar NJOP, namun sebagaimana yang dituangkan dalam pasal 15 ayat (1), besarnya ganti rugi dihitung berdasarkan NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penetapan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh Panitia. Untuk nilai jual bangunan ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pembangunan. " Sedangkan untuk nilai jual tanaman ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian. “jadi tetap dengan harga yang wajar” kata Djoko.

Menjawab pertanyaan soal kekhawatiran masyarakat bahwa objek infrastruktur yang akan dibangun apakah benar-benar untuk kepentingan umum Menteri PU mengemukakan, sebetulnya hal itu tidak perlu terjadi apabila Rencana Tata Ruang Wilayah, termasuk didalamnya rencana jaringan infrastruktur bagi kepentingan umum tersosialisasikan sejak awal. “RTRW harus terbuka sehingga semua orang bisa mengontrol” kata Djoko. Menurut UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah juga melibatkan masyarakat dan masyarakat juga mempunyai hak untuk mengetahui Rencana Tata Ruang tersebut.

Pencabutan hak atas Tanah

Dalam kesempatan yang sama Dirut PT.Jasa Marga Syarifudin Alambai mengatakan, masalah pencabutan hak atas tanah yang ada dalam Perpres 36/2005, sebenarnya sudah ada dalam peraturan sebelumnya yakni mulai dari Onteigenings Ordonantie Staats Blad 1920 No.574, staats blad 1947 No.96, UU No.5/1960, UU No. 20/1961, PP 39/1973, Inpres 9/1973 dan Keppres No.55/1993. Sehingga menurutnya pencabutan hak atas tanah hanya merupakan pengulangan kembali dari peraturan sebelumnya.

Proses pencabutan hak atas tanah, menurut Alambai melalui proses yang panjang, tidak bisa semena-mena. Pembangunan infrastruktur bagi kepentingan umum terlebih dahulu harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum yang ditetapkan berdasarkan SK Bupati/Walikota atau Gubernur, maka bagi yang ingin melakukan pembelian tanah diatas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur Proses pembebasan tanahnya juga dilakukan melalui jalan musyawarah antara pemegang hak atas tanah dengan pemerintah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi dengan waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal undangan pertama.

Apabila dalam musyawarah tidak mencapai kesepakatan dan lokasi pembangunan tidak bisa dipindahkan maka Pemerintah Kabupaten/Kota atau Gubernur akan membentuk Tim Penilai Harga Tanah yang profesional dan independen yang ditunjuk oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Setelah P2T menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi, lalu diserahkan kepada pemilik hak tanah, namun apabila pemilik hak tanah tidak menerima, P2T akan menitipkan uang uang ganti ruginya pada pengadilan negeri. Pemilik hak tanah dapat mengajukan keberatan disertai alasannya kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri dan sesuai kewenangannya mengupayakan penyelesaian melalui kewenangannya mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya.

Apabila pemilik hak tanah tetap tidak menerima, maka Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri baru mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN kemudian melakukan konsultasi dengan menteri atau instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan HAM sebelum usul tersebut disampaikan kepada presiden. (gt/jons/ind)

Pusdatin
(26/06/2005)

NJOP PRODUK PERPAJAKAN

NJOP ADALAH PRODUK PERPAJAKAN
(Kajian Dalam Penggunaan Ganti Rugi Tanah)
Oleh : Eko Bayu Aji, S.E, MT
_
_____________________________________________________________________________
Menanggapi tulisan Drs. Wibowo Raharjo, Msc yang berjudul “NJOP : Antara De Jure dan De Facto“ pada Berita Pajak edisi XL 1 Desember 2007 yang dalam penulisannya disebutkan bahwa terdapat banyak penggunaan NJOP selain untuk kepentingan perpajakan sehingga menimbulkan kekisruhan hukum atau perbedaan persepsi yang akhirnya menimbulkan kerugian pada pihak-pihak tertentu.

Penggunaan tersebut juga sangat merugikan Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang bertugas untuk mendapatkan penerimaan di Sektor Pajak mengingat dalam aturan atau payung hukumnya pada Undang-undang No.12 tahun 1985 sebagaimana diubah Undang-undang No. 12 tahun 1994 Pasal 6 (1) jelas bahwa NJOP adalah dasar pengenaan pajak. Demikian pula pada Undang-undang No.21 tahun 1997 jo Undang-undang No.20 tahun 2000 Pasal 6 (3) NJOP dijadikan dasar pengenaan BPHTB.
Penerapan NJOP dibeberapa wilayah di KP. PBB banyak terdapat Distorsi dengan harga pasar mengingat dalam praktik penerapannya ada beberapa faktor yang dipertimbangkan antara lain :
1.Kemampuan membayar masyarakat : kenyataan di Lapangan sering timbul keluhan dari aparat Pemda yang terbebani dengan target penerimaan PBB yang meningkat atau masyarakat yang sering keberatan jika kenaikan PBB atau efek pajak lainnya akibat jual beli jadi naik (PBB dan BPHTB).
2.Kondisi sosial, politik, dan keamanan suatu daerah : kondisi riil dimasyarakat misalkan adanya kerawanan konflik misalkan adanya pertimbangan Pemda agar kenaikan PBB ditunda karena Pilkada juga merupakan pertimbangan tidak dinaikkan PBB.
3.Kondisi perekonomian Daerah :
Dengan adanya kondisi perekonomian yang belum ada peningkatan misal adanya bencana alam, krisis ekonomi, dan sebab ekonomi lainnya juga merupakan pertimbangan Penilai dalam menentukan besarnya NJOP.
4.Faktor kebijaksanaan Pemerintah
Faktor ini juga harus dipertimbangkan Penilai dalam menentukan besarnya NJOP.
Distorsi tersebut berakibat NJOP seringkali tertinggal dari Nilai Pasar properti sehingga banyak sekali dilematis jika NJOP digunakan sebagai kepentingan selain perpajakan mengingat sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa NJOP sebagai tolak ukur Nilai Pasar Tanah (Land Market Value).
Hal tersebut berakibat banyaknya kegiatan proyek pembangunan terhambat karena pelaksana kegiatan proyek “ ketakutan dijerat aparat hukum dengan tuduhan korupsi akibat menggunakan harga pasar yang notabena diatas NJOP”.
Dalam pembahasan ini lebih difokuskan pada masalah pengadaan tanah yang mengacu pada Peraturan Presiden No.65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum, yang sering kali pihak Direktorat Jenderal Pajak menjadi saksi ahli atau diperiksa oleh aparat hukum.


Definisi Nilai dan Harga

Untuk menghindari kesalahan penafsiran perbedaan nilai dan harga maka akan dijelaskan sebagai berikut :Harga diartikan sebagai sejumlah uang yang dibayar dalam sebuah transaksi untuk mendapatkan hak milik dari suatu benda.( Harjanto Budi, 2003 )

Harga = Biaya + faktor kepentingan dan pasar

Nilai adalah apa yang “sepatutnya dibayar” oleh seorang pembeli atau diterima oleh penjual dalam sebuah transaksi dan harga adalah apa yang akhirnya disetujui. ( Harjanto Budi, 2003 )
Faktor yang menyebabkan perbedaan dan persamaan antara nilai dan harga adalah faktor kewajaran, yaitu :
oPenjual yang berkelayakan dan mempunyai hak bersedia menjual hartanya
oPembeli yang mampu dan layak bersedia membeli
oAda waktu yang cukup untuk tawar menawar
oAda waktu yang cukup untuk menunjukkan harta yang dijual kepada pasar
oHarga tidak berubah atau mengalami fluktuasi dalam jangka waktu tertentu
oTidak memperhatikan penawaran istimewa misal antara anak dan bapak, dst.

Terdapat berbagai jenis nilai yaitu disesuaikan dengan tujuannya/kepentingannya, nilai modal, nilai pasar wajar, nilai sewa, nilai penjualan, nilai potensi, nilai tukar, dan lain-lain.

NJOP

Nilai ini mempunyai tujuan untuk pajak. Untuk tujuan ini mengacu pada Undang-undang No.12 tahun 1985 sebagaimana diubah Undang-undang No.12 tahun 1994 tentang PBB dan ketentuan pelaksanaannya. Jadi jelas dari proses penilaiannya NJOP tidak bisa disamakan dengan tujuan untuk kepentingan lainnya misalkan proses ganti rugi tanah, penilain asset, penilaian marger, dan lain-lain, karena pada tiap kepentingan akan menghasilkan Nilai yang berbeda sesuai dengan tujuannya.

Penerapan NJOP memperhatikan kemampuan masyarakat hal ini dapat dilihat pada bagian Penjelasan Undang-undang No.12 tahun 1985 tentang PBB disebutkan pada bagian umum :
•Bahwa Pengenaan PBB mencerminkan keikutsertaan dan kegotongroyongan masyarakat dibidang pembiayaan pembangunan sehingga semua obyek pajak dikenakan pajak.
•Hasil penerimaan pajak ini diarahkan kepada tujuan kepentingan masyarakat didaerah yang bersangkutan, maka sebagian besar hasil penerimaan pajak diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
•Penggunaan pajak yang demikian oleh daerah akan merangsang masyarakat untuk memenuhi kewajiban membayar pajak yang sekaligus mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan.


Terdapat suatu pendekatan yang berbeda dalam penentuan NJOP PBB mengingat faktor tersebut diatas terdapat beberapa karakteristik PBB yang membedakan dengan pajak lain:
1.Dikenakan atas semua obyek pajak sehingga konsumen/wajib pajaknya adalah beberapa lapisan masyarakat. Sehingga kenaikan NJOP akan sensitif sekali terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang mana kemampuan ekonominya menurun akibat kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya membaik.
2.Pengenaannya bersifat massal sehingga dimungkinkan adanya beberapa kelemahan dalam penerapannya, sedangkan untuk obyek tertentu/spesifik bisa dilakukan secara individual.
3.Pengenaannya tetap memperhatikan harga pasar sebagai acuan dalam penentuan besarnya NJOP Bumi atau Bangunan.
4.Pengenaan Pajak PBB cenderung melihat aspek obyektif wajib pajak; dimana berbeda dengan pajak lainnya yang cenderung pada subyek pajaknya (kemampuan wajib pajak).Kondisi ini memungkinkan wajib pajak mengajukan besarnya pengurangan selama obyek tersebut masih obyek domisili wajib pajak atau karena kondisi subyek pajak yang ada kaitannya dengan obyek pajak.

Pengadaan Tanah pada Perpres 65 tahun 2006

Pengadaan tanah ini ada 2 bagian penting :
1.Bukan untuk kepentingan umum pada pasal 2 (2) pelaksanaannya dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan
2.Pengadaan tanah untuk kepentingan umum didasarkan atas : NJOP atau nilai nyata sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia
Jadi dari 2 (dua) item diatas jelas bahwa NJOP bukan satu-satunya alat untuk membayar besarnya kompensasi ganti rugi tapi ada unsur nilai pasar.

Permasalahan yang terjadi didaerah-daerah adalah :
a.Pemerintah Daerah tidak menggunakan jasa Profesi Penilai untuk menentukan Nilai Pasar Wajar.
b.“Keragu-raguan” jika tidak menggunakan NJOP karena kekuatiran konsekuensi hukumnya (persepsi sebagian pelaksana kegiatan akibat minimnya sosialisasi “Apa itu NJOP”).
c.Dalam penentuan Nilai Tanah melibatkan pihak-pihak yang belum mengerti benar cara menilai properti misal masih menggunakan informasi Camat/Lurah sebagai referensi harga jual, pada hal untuk menentukan “Nilai Tanah” perlu juga advis dan jasa Profesi Penilai sehingga dapat lebih Akuntable dan dapat dipertanggung jawabkan.
d.Panitia Penilai tanah tidak dibentuk secara independen dalam artian harus membuat nilai yang fair sehingga tidak tergantung pada kepentingan pihak yang membutuhkan lahan.
e.Masih adanya persepsi tokoh masyarakat maupun aparat hukum bahwa NJOP sebagai penentu besarnya ganti rugi sehingga sering menimbulkan polemik yang berkepanjangan.

Pada peraturan Kepala BPN No.3 tahun 2007 tentang aturan Pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 pada pasal 59 disebutkan
1.Bentuk dan besarnya ganti rugi pengadaan tanah secara langsung ditetapkan berdasarkan musyawarah antara Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan Pemilik.
2.Musyawarah yang dimaksud pada ayat (1) dapat berpedoman pada NJOP atau nilai nyata sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan disekitar lokasi.

Jadi jelas bahwa NJOP bukan satu-satunya alat untuk pengadaan tanah baik untuk kepentingan umum atau bukan kepentingan umum.
Tapi jika terdapat perbedaan yang tajam antara NJOP dan harga pasar sebaiknya Tim Penilai harga tanah harus dapat membuat Penilaian yang dapat mencerminkan Nilai Pasar wajar daerah tersebut atau jika dirasa perlu lebih baik menggunakan jasa Profesi Penilai yang dapat menentukan nilai yang dapat dipertanggung jawabkan.

Namun jika NJOP dipakai dan disetujui para pihak untuk pengadaan tanah maka tim penilai harga tanah maupun panitia pengadaan tanah harus pula dapat memberikan alasan yang dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak manapun yang minta keterangan maupun pertanggung jawaban.

Kesimpulan dan Saran

Sesuai dengan aturan hukum dan aturan pelaksanaan lainnya NJOP adalah digunakan untuk kepentingan Perpajakan sehingga jika ada institusi lain yang menggunakan NJOP maka seyogyanya harus dapat memberikan argument atau alasan penggunaan tersebut dan pertanggung jawabannya.
Beberapa saran agar potensi pajak baik PBB, BPHTB dan Pph dapat dioptimalkan dengan melihat distorsi NJOP dan Harga Pasar dalam kaitan dengan proses pengadaan tanah adalah sebagai berikut:
1.Frekuensi updating NJOP harus rutin dilaksanakan oleh KP. PBB/KPP Pratama agar NJOP tidak tertinggal dari Harga Pasar.
2.Pihak direktorat Jenderal Pajak harus seringkali melakukan pengecekan Assessment Ratio atas NJOP yang ditetapkan.
3.Perlunya sosialisasi secara kontinyu kepada semua pihak bahwa NJOP hanya digunakan untuk tujuan perpajakan.
4.Perlunya koordinasi dengan Pemda setempat terhadap penerapan NJOP dengan melihat semua kondisi yang mempengaruhinya sehingga misi penyesuaian NJOP untuk meningkatkan penerimaan pajak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak sehingga target penerimaan akan dapat diamankan.
5.Perlu dibentuk atau diusulkan kepada Pemerintah untuk membentuk Badan Penilaian atau Bank Data yang mana data yang ada dapat diakses oleh pihak-pihak yang membutuhkan, sehingga masalah pengadaan tanah tidak menimbulkan akses yang merugikan pihak-pihak yang ada.
6.Pihak Direktorat Jenderal Pajak harus seringkali mengadakan Pemeriksaan secara intensif terhadap transaksi yang dilaporkan Notaris PPAT untuk mengetahui harga transaksi riil yang tertuang pada Akta Jual Beli mengingat sebagian besar laporan transaksi mengacu pada NJOP atau sedikit diatas NJOP untuk mengelabuhi aparat Direktorat Jenderal Pajak, harga jual riil ini bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam penentuan NJOP pada suatu wilayah.