Sabtu, 13 September 2008

KAJIAN PEMBEBASAN TANAH

MENTERI PU: PEMDA JANGAN RAGU GUNAKAN PERPRES 36 TAHUN 2005

Pemerintah Daerah yang akan membebaskan tanah tidak perlu ragu lagi dalam menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 tahun 2005, yang sebenarnya sudah berlaku sejak ditandatangani. "Perpres itu sudah berlaku sejak ditandatangani. Oleh karena itu segera kita laksanakan saja," tegas Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, pada saat jumpa pers yang didampingi oleh Dirjen Bina Marga Hendrianto Notosoegondo dan Direktur Utama PT. Jasa Marga Syarifudin Alambai, Rabu (22/6) Jakarta .

Menurutnya, semua pengadaan lahan untuk fasilitas umum saat ini sudah dapat menggunakan prosedur yang ditetapkan Perpres No. 36 tahun 2005, menggantikan Keppres 55 tahun 1993 yang memiliki banyak kelemahan. Pembebasan tanah yang tidak bermasalah saat ini sudah mengacu kepada Perpres 36 tahun 2005, harapan pemerintah tidak ada lagi masalah dalam pembebasan lahan, bahkan jangan sampai terjadi pencabutan hak atas tanah, kata Menteri PU.

Banyaknya pembangunan infrastuktur untuk kepentingan umum yang terhenti akibat proses pengadaan tanahnya yang berlarut-larut kata Djoko Kirmanto, utamanya disebabkan oleh aksi para spekulan tanah. Hal itu mengakibatkan banyak pembangunan infrastruktur yang terpaksa terhenti oleh ulah spekulan tanah. Menteri mencontohkan, seperti proyek Banjir Kanal Timur (BKT) , yang tidak selesai-selesai karena terkendala pembebasan tanah, padahal kalau tidak segera diselesaikan, masyarakat yang tinggal di Jakarta Timur akan kebanjiran terus.

Sedangkan masalah pembebasan tanah yang juga menghambat pembangunan jalan tol seperti JORR, menurut Djoko yang dirugikan tidak hanya investornya namun juga masyarakat banyak. ”kalau JORR cepat selesai, maka truk-truk besar akan kita arahkan untuk tidak menggunakan jalan tol dalam kota, sehingga pengguna tol dalam kota bisa menggunakannya lebih leluasa” kata Djoko.

Menurutnya keluarnya Perpres tersebut dalam upaya pemerintah menyediakan infrastruktur untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperbaiki daya saing ekonomi nasional, sehingga dalam hal pengadaan tanahnya dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan hak-hak yang sah atas tanah.

Besarnya ganti rugi tandas Djoko Kirmanto tidak semata-mata atas dasar NJOP, namun sebagaimana yang dituangkan dalam pasal 15 ayat (1), besarnya ganti rugi dihitung berdasarkan NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penetapan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh Panitia. Untuk nilai jual bangunan ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pembangunan. " Sedangkan untuk nilai jual tanaman ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian. “jadi tetap dengan harga yang wajar” kata Djoko.

Menjawab pertanyaan soal kekhawatiran masyarakat bahwa objek infrastruktur yang akan dibangun apakah benar-benar untuk kepentingan umum Menteri PU mengemukakan, sebetulnya hal itu tidak perlu terjadi apabila Rencana Tata Ruang Wilayah, termasuk didalamnya rencana jaringan infrastruktur bagi kepentingan umum tersosialisasikan sejak awal. “RTRW harus terbuka sehingga semua orang bisa mengontrol” kata Djoko. Menurut UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah juga melibatkan masyarakat dan masyarakat juga mempunyai hak untuk mengetahui Rencana Tata Ruang tersebut.

Pencabutan hak atas Tanah

Dalam kesempatan yang sama Dirut PT.Jasa Marga Syarifudin Alambai mengatakan, masalah pencabutan hak atas tanah yang ada dalam Perpres 36/2005, sebenarnya sudah ada dalam peraturan sebelumnya yakni mulai dari Onteigenings Ordonantie Staats Blad 1920 No.574, staats blad 1947 No.96, UU No.5/1960, UU No. 20/1961, PP 39/1973, Inpres 9/1973 dan Keppres No.55/1993. Sehingga menurutnya pencabutan hak atas tanah hanya merupakan pengulangan kembali dari peraturan sebelumnya.

Proses pencabutan hak atas tanah, menurut Alambai melalui proses yang panjang, tidak bisa semena-mena. Pembangunan infrastruktur bagi kepentingan umum terlebih dahulu harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum yang ditetapkan berdasarkan SK Bupati/Walikota atau Gubernur, maka bagi yang ingin melakukan pembelian tanah diatas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur Proses pembebasan tanahnya juga dilakukan melalui jalan musyawarah antara pemegang hak atas tanah dengan pemerintah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi dengan waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal undangan pertama.

Apabila dalam musyawarah tidak mencapai kesepakatan dan lokasi pembangunan tidak bisa dipindahkan maka Pemerintah Kabupaten/Kota atau Gubernur akan membentuk Tim Penilai Harga Tanah yang profesional dan independen yang ditunjuk oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Setelah P2T menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi, lalu diserahkan kepada pemilik hak tanah, namun apabila pemilik hak tanah tidak menerima, P2T akan menitipkan uang uang ganti ruginya pada pengadilan negeri. Pemilik hak tanah dapat mengajukan keberatan disertai alasannya kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri dan sesuai kewenangannya mengupayakan penyelesaian melalui kewenangannya mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya.

Apabila pemilik hak tanah tetap tidak menerima, maka Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri baru mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN kemudian melakukan konsultasi dengan menteri atau instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan HAM sebelum usul tersebut disampaikan kepada presiden. (gt/jons/ind)

Pusdatin
(26/06/2005)

Tidak ada komentar: