NJOP ADALAH PRODUK PERPAJAKAN
(Kajian Dalam Penggunaan Ganti Rugi Tanah)
Oleh : Eko Bayu Aji, S.E, MT
______________________________________________________________________________
Menanggapi tulisan Drs. Wibowo Raharjo, Msc yang berjudul “NJOP : Antara De Jure dan De Facto“ pada Berita Pajak edisi XL 1 Desember 2007 yang dalam penulisannya disebutkan bahwa terdapat banyak penggunaan NJOP selain untuk kepentingan perpajakan sehingga menimbulkan kekisruhan hukum atau perbedaan persepsi yang akhirnya menimbulkan kerugian pada pihak-pihak tertentu.
Penggunaan tersebut juga sangat merugikan Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang bertugas untuk mendapatkan penerimaan di Sektor Pajak mengingat dalam aturan atau payung hukumnya pada Undang-undang No.12 tahun 1985 sebagaimana diubah Undang-undang No. 12 tahun 1994 Pasal 6 (1) jelas bahwa NJOP adalah dasar pengenaan pajak. Demikian pula pada Undang-undang No.21 tahun 1997 jo Undang-undang No.20 tahun 2000 Pasal 6 (3) NJOP dijadikan dasar pengenaan BPHTB.
Penerapan NJOP dibeberapa wilayah di KP. PBB banyak terdapat Distorsi dengan harga pasar mengingat dalam praktik penerapannya ada beberapa faktor yang dipertimbangkan antara lain :
1.Kemampuan membayar masyarakat : kenyataan di Lapangan sering timbul keluhan dari aparat Pemda yang terbebani dengan target penerimaan PBB yang meningkat atau masyarakat yang sering keberatan jika kenaikan PBB atau efek pajak lainnya akibat jual beli jadi naik (PBB dan BPHTB).
2.Kondisi sosial, politik, dan keamanan suatu daerah : kondisi riil dimasyarakat misalkan adanya kerawanan konflik misalkan adanya pertimbangan Pemda agar kenaikan PBB ditunda karena Pilkada juga merupakan pertimbangan tidak dinaikkan PBB.
3.Kondisi perekonomian Daerah :
Dengan adanya kondisi perekonomian yang belum ada peningkatan misal adanya bencana alam, krisis ekonomi, dan sebab ekonomi lainnya juga merupakan pertimbangan Penilai dalam menentukan besarnya NJOP.
4.Faktor kebijaksanaan Pemerintah
Faktor ini juga harus dipertimbangkan Penilai dalam menentukan besarnya NJOP.
Distorsi tersebut berakibat NJOP seringkali tertinggal dari Nilai Pasar properti sehingga banyak sekali dilematis jika NJOP digunakan sebagai kepentingan selain perpajakan mengingat sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa NJOP sebagai tolak ukur Nilai Pasar Tanah (Land Market Value).
Hal tersebut berakibat banyaknya kegiatan proyek pembangunan terhambat karena pelaksana kegiatan proyek “ ketakutan dijerat aparat hukum dengan tuduhan korupsi akibat menggunakan harga pasar yang notabena diatas NJOP”.
Dalam pembahasan ini lebih difokuskan pada masalah pengadaan tanah yang mengacu pada Peraturan Presiden No.65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum, yang sering kali pihak Direktorat Jenderal Pajak menjadi saksi ahli atau diperiksa oleh aparat hukum.
Definisi Nilai dan Harga
Untuk menghindari kesalahan penafsiran perbedaan nilai dan harga maka akan dijelaskan sebagai berikut :Harga diartikan sebagai sejumlah uang yang dibayar dalam sebuah transaksi untuk mendapatkan hak milik dari suatu benda.( Harjanto Budi, 2003 )
Harga = Biaya + faktor kepentingan dan pasar
Nilai adalah apa yang “sepatutnya dibayar” oleh seorang pembeli atau diterima oleh penjual dalam sebuah transaksi dan harga adalah apa yang akhirnya disetujui. ( Harjanto Budi, 2003 )
Faktor yang menyebabkan perbedaan dan persamaan antara nilai dan harga adalah faktor kewajaran, yaitu :
oPenjual yang berkelayakan dan mempunyai hak bersedia menjual hartanya
oPembeli yang mampu dan layak bersedia membeli
oAda waktu yang cukup untuk tawar menawar
oAda waktu yang cukup untuk menunjukkan harta yang dijual kepada pasar
oHarga tidak berubah atau mengalami fluktuasi dalam jangka waktu tertentu
oTidak memperhatikan penawaran istimewa misal antara anak dan bapak, dst.
Terdapat berbagai jenis nilai yaitu disesuaikan dengan tujuannya/kepentingannya, nilai modal, nilai pasar wajar, nilai sewa, nilai penjualan, nilai potensi, nilai tukar, dan lain-lain.
NJOP
Nilai ini mempunyai tujuan untuk pajak. Untuk tujuan ini mengacu pada Undang-undang No.12 tahun 1985 sebagaimana diubah Undang-undang No.12 tahun 1994 tentang PBB dan ketentuan pelaksanaannya. Jadi jelas dari proses penilaiannya NJOP tidak bisa disamakan dengan tujuan untuk kepentingan lainnya misalkan proses ganti rugi tanah, penilain asset, penilaian marger, dan lain-lain, karena pada tiap kepentingan akan menghasilkan Nilai yang berbeda sesuai dengan tujuannya.
Penerapan NJOP memperhatikan kemampuan masyarakat hal ini dapat dilihat pada bagian Penjelasan Undang-undang No.12 tahun 1985 tentang PBB disebutkan pada bagian umum :
•Bahwa Pengenaan PBB mencerminkan keikutsertaan dan kegotongroyongan masyarakat dibidang pembiayaan pembangunan sehingga semua obyek pajak dikenakan pajak.
•Hasil penerimaan pajak ini diarahkan kepada tujuan kepentingan masyarakat didaerah yang bersangkutan, maka sebagian besar hasil penerimaan pajak diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
•Penggunaan pajak yang demikian oleh daerah akan merangsang masyarakat untuk memenuhi kewajiban membayar pajak yang sekaligus mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan.
Terdapat suatu pendekatan yang berbeda dalam penentuan NJOP PBB mengingat faktor tersebut diatas terdapat beberapa karakteristik PBB yang membedakan dengan pajak lain:
1.Dikenakan atas semua obyek pajak sehingga konsumen/wajib pajaknya adalah beberapa lapisan masyarakat. Sehingga kenaikan NJOP akan sensitif sekali terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang mana kemampuan ekonominya menurun akibat kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya membaik.
2.Pengenaannya bersifat massal sehingga dimungkinkan adanya beberapa kelemahan dalam penerapannya, sedangkan untuk obyek tertentu/spesifik bisa dilakukan secara individual.
3.Pengenaannya tetap memperhatikan harga pasar sebagai acuan dalam penentuan besarnya NJOP Bumi atau Bangunan.
4.Pengenaan Pajak PBB cenderung melihat aspek obyektif wajib pajak; dimana berbeda dengan pajak lainnya yang cenderung pada subyek pajaknya (kemampuan wajib pajak).Kondisi ini memungkinkan wajib pajak mengajukan besarnya pengurangan selama obyek tersebut masih obyek domisili wajib pajak atau karena kondisi subyek pajak yang ada kaitannya dengan obyek pajak.
Pengadaan Tanah pada Perpres 65 tahun 2006
Pengadaan tanah ini ada 2 bagian penting :
1.Bukan untuk kepentingan umum pada pasal 2 (2) pelaksanaannya dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan
2.Pengadaan tanah untuk kepentingan umum didasarkan atas : NJOP atau nilai nyata sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia
Jadi dari 2 (dua) item diatas jelas bahwa NJOP bukan satu-satunya alat untuk membayar besarnya kompensasi ganti rugi tapi ada unsur nilai pasar.
Permasalahan yang terjadi didaerah-daerah adalah :
a.Pemerintah Daerah tidak menggunakan jasa Profesi Penilai untuk menentukan Nilai Pasar Wajar.
b.“Keragu-raguan” jika tidak menggunakan NJOP karena kekuatiran konsekuensi hukumnya (persepsi sebagian pelaksana kegiatan akibat minimnya sosialisasi “Apa itu NJOP”).
c.Dalam penentuan Nilai Tanah melibatkan pihak-pihak yang belum mengerti benar cara menilai properti misal masih menggunakan informasi Camat/Lurah sebagai referensi harga jual, pada hal untuk menentukan “Nilai Tanah” perlu juga advis dan jasa Profesi Penilai sehingga dapat lebih Akuntable dan dapat dipertanggung jawabkan.
d.Panitia Penilai tanah tidak dibentuk secara independen dalam artian harus membuat nilai yang fair sehingga tidak tergantung pada kepentingan pihak yang membutuhkan lahan.
e.Masih adanya persepsi tokoh masyarakat maupun aparat hukum bahwa NJOP sebagai penentu besarnya ganti rugi sehingga sering menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
Pada peraturan Kepala BPN No.3 tahun 2007 tentang aturan Pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 pada pasal 59 disebutkan
1.Bentuk dan besarnya ganti rugi pengadaan tanah secara langsung ditetapkan berdasarkan musyawarah antara Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan Pemilik.
2.Musyawarah yang dimaksud pada ayat (1) dapat berpedoman pada NJOP atau nilai nyata sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan disekitar lokasi.
Jadi jelas bahwa NJOP bukan satu-satunya alat untuk pengadaan tanah baik untuk kepentingan umum atau bukan kepentingan umum.
Tapi jika terdapat perbedaan yang tajam antara NJOP dan harga pasar sebaiknya Tim Penilai harga tanah harus dapat membuat Penilaian yang dapat mencerminkan Nilai Pasar wajar daerah tersebut atau jika dirasa perlu lebih baik menggunakan jasa Profesi Penilai yang dapat menentukan nilai yang dapat dipertanggung jawabkan.
Namun jika NJOP dipakai dan disetujui para pihak untuk pengadaan tanah maka tim penilai harga tanah maupun panitia pengadaan tanah harus pula dapat memberikan alasan yang dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak manapun yang minta keterangan maupun pertanggung jawaban.
Kesimpulan dan Saran
Sesuai dengan aturan hukum dan aturan pelaksanaan lainnya NJOP adalah digunakan untuk kepentingan Perpajakan sehingga jika ada institusi lain yang menggunakan NJOP maka seyogyanya harus dapat memberikan argument atau alasan penggunaan tersebut dan pertanggung jawabannya.
Beberapa saran agar potensi pajak baik PBB, BPHTB dan Pph dapat dioptimalkan dengan melihat distorsi NJOP dan Harga Pasar dalam kaitan dengan proses pengadaan tanah adalah sebagai berikut:
1.Frekuensi updating NJOP harus rutin dilaksanakan oleh KP. PBB/KPP Pratama agar NJOP tidak tertinggal dari Harga Pasar.
2.Pihak direktorat Jenderal Pajak harus seringkali melakukan pengecekan Assessment Ratio atas NJOP yang ditetapkan.
3.Perlunya sosialisasi secara kontinyu kepada semua pihak bahwa NJOP hanya digunakan untuk tujuan perpajakan.
4.Perlunya koordinasi dengan Pemda setempat terhadap penerapan NJOP dengan melihat semua kondisi yang mempengaruhinya sehingga misi penyesuaian NJOP untuk meningkatkan penerimaan pajak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak sehingga target penerimaan akan dapat diamankan.
5.Perlu dibentuk atau diusulkan kepada Pemerintah untuk membentuk Badan Penilaian atau Bank Data yang mana data yang ada dapat diakses oleh pihak-pihak yang membutuhkan, sehingga masalah pengadaan tanah tidak menimbulkan akses yang merugikan pihak-pihak yang ada.
6.Pihak Direktorat Jenderal Pajak harus seringkali mengadakan Pemeriksaan secara intensif terhadap transaksi yang dilaporkan Notaris PPAT untuk mengetahui harga transaksi riil yang tertuang pada Akta Jual Beli mengingat sebagian besar laporan transaksi mengacu pada NJOP atau sedikit diatas NJOP untuk mengelabuhi aparat Direktorat Jenderal Pajak, harga jual riil ini bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam penentuan NJOP pada suatu wilayah.
Sabtu, 13 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Ass
Halo Bapak Eko Bayu Aji
Boleh saya bertanya sesuatu? Ini terkait dengan kondisi saya saat ini dimana saya membeli tanah di salah satu daerah di Yogyakarta dari pemilik seharga 102.606.000 ribu, luas tanahnya adalah 174 m persegi.
Ketika saya mengurus ke Notaris saya dan penjual dikenai pajak jual beli sebesar 30 juta rupiah. Kami sangat terkejut dengan harga tersebut karena sama sekali tidak rasional. Kami mencoba menelusuri ternyata yang menyebabkan mahal adalah karena NJOP tanah tersebut oleh pihak Pajak dihargai permeter 1.800.000, padahal tanah di sekitar situ tidak seharga sebesar itu. Kami telah mencoba membuat peta untuk mencoba menjelaskan dimana sebenarnya letak tanah tersebut,tetapi sepertinya mereka masih kukuh untuk menghargai NJOP -nya seperti tersebut di atas. Kami saat ini kebingungan kemana harus mengadukan hal ini. Apabila bapak bisa memberikan saran saya sangat berterimakasih
Wass
Intansari Nurjannah
intansari_nurjannah@yahoo.com.au
Posting Komentar