Minggu, 23 November 2008

Kobe Beef

Oleh: Rhenald Kasali
sumber http://www.geocities.com/big_bang_inspiration/rhenald.htm
Minggu lalu saya mampir di Osaka untuk mengantarkan mahasiswa program doktoral kami, Putu Ary Suta, untuk melakukan presentasi makalah ilmiahnya di Kobe University. Selain itu, bersama Rektor UI, hari itu kami menandatangani kesepakatan kerjasama untuk membangun semacam aliansi antara program kami dengan Kobe. Dengan begitu, kita bisa saling melakukan pertukaran pengetahuan, saling mengirim pengajar maupun mahasiswa dalam melakukan riset dan bimbingan. Dari Kobe, saya dengan team berangkat ke Puerto Rico dan Illinois untuk melakukan penjajakan kerjasama. Kalau tak ada halangan, dalam waktu dekat akses pada universitas-universitas terkemuka akan semakin terbuka bagi mahasiswa kita.

Ada banyak hal menarik yang secara akademik dapat saya ceritakan. Apalagi di Puerto Rico kami bertemu dengan ahli strategic management yang memperkenalkan konsep-konsep baru. Di sana ada Richard D'aveny yang menulis buku Hypercompetition , Pangkaj Gemawat, Bala Chaknavati, dan sebagainya. D'aveny bahkan berjanji tahun depan akan mampir ke UI untuk memberikan ceramah. Tetapi yang menarik perhatian saya tentu saja bukan melulu hal-hal yang bersifat ilmiah. Di Jepang, dalam suatu jamuan makan malam, kolega saya, Prof. Frutani, yang sudah 30 tahun bekerja untuk Sumitomo malah mempersoalkan bagaimana Jepang eksis dalam menghadapi persaingan secara praktis. Ia tak lagi bercerita tentang Sony, Matsushita, atau Toyota melainkan Kobe Beef.

Kobe Beef adalah daging sapi yang dibuat tanpa strategi, katanya. Kami memang sempat mencicipinya, dan Masya Allah, sulit sekali mempercayainya. Dagingnya enak dan lembut sekali. Di sebuah restoran kecil di Kobe, kebetulan tamunya hanya team kami saat itu, sehingga saya bebas menggali segala sesuatu tentangnya. Menurut si pemilik, daging Kobe dikenal karena sapinya minum beer. Sulit saya mempercayainya karena harga sebotol beer sangat mahal.

Betul, awalnya adalah suatu kebetulan. Seseorang menawarkan memberi minum beer kepada pemilik sapi. Konon sebelum era Edo, orang-orang Jepang dilarang makan hewan berkaki empat. Mereka cuma makan hasil laut, ayam dan burung-burungan. Tapi ketika Jepang membuka diri dan orang-orang asing berdatangan, mereka mulai berkenalan dengan sapi karena mereka ingin makan daging. Mereka mulai memperdagangkan daging sapi. Tetapi suatu ketika, seorang pemilik pabrik minuman ingin memberikan beernya kepada sapi-sapi tetangganya dan ternyata sapi-sapi itu doyan pula. Lama-lama pemilik pabrik beer itu ikut-ikutan membeli sapi dan memeliharanya. Karena sayang dengan sapi-sapi itu, ototnya dipijat-pijat setiap hari. Belakangan diketahui pijatan-pijatan itu mampu membuat sapi menjadi relaks dan otot-ototnya tidak kaku. Dan ketika disembelih, baru ketahuan betapa nikmatnya daging sapi yang minum beer dan dipijat setiap hari.

Tapi benarkah Kobe Beef dibuat tanpa strategi? Tentu saja tidak 100%. Asosiasi usaha di era sekarang, secara konseptual disebut Michael Porter sebagai Institute for Collaboration (IFC). Dalam konsep cluster, IFC punya peran yang sangat besar merumuskan strategi. Kalau perusahaan-perusahaan bisnis dikelola dengan sangat baik, tetapi IFC dan negaranya malas, competitiveness yang dimiliki oleh suatu badan usaha akan menjadi sangat pincang. Akibatnya, mereka bisa pindah mencari lokasi di daerah atau negara-negara lain yang pemerintahannya juga kompetitif. Di Kobe, pemerintah daerah bersama-sama dengan IFC segera menciptakan strategi itu. Dalam buku terbarunya (Trout on Strategy) , Jack Trout menandaskan, “Strategy is all about being different” . Selain itu ia juga menandaskan bagaimana suatu product dibuat dapat juga dijadikan unsur pembeda yang penting. IFC di Kobe mengambil peran itu. Salah satunya adalah menciptakan standard quality . Untuk disebut sebagai Kobe Beef, mereka menyepakati 18 checking points,/i>. Mereka memeriksa kelembutan, tekstur, warna, kadar air, dan sebagainya. Begitu salah satu tidak terpenuhi, ia tidak dapat dijual sebagai Kobe Beef dan harganya jatuh sebagai komoditi. Tahu berapa harga sepotong daging steak Kobe Beef? Benar, harganya bisa tujuh hingga sepuluh kali lipat daging biasa. Maka kala tak cukup punya uang, jangan sekali-kali memesannya, bisa pusing kepala.
Saya memikirkan ribuan produk-produk hasil alam buatan Indonesia yang semakin hari harganya semakin terpuruk di sini. Tidak adakah cara bagi kita untuk memperbaiki daya saingnya dengan hal-hal seperti di atas?

KONSEP UANG DAN MODAL DALAM ISLAM

Monday, 21 April 2008
Konsep Uang dan Modal dalam Islam

Ikhwan Abidin Basri (Pembantu Ketua STEI Tazkia)

Uang kertas yang lazim digunakan di zaman sekarang disebut fiat money. Dinamakan demikian karena kemampuan uang untuk berfungsi sebagai alat tukar dan memiliki daya beli tidak disebabkan karena uang tersebut dilatarbelakangi oleh emas.
Dulu uang memang mengikuti standar emas (gold standard). Namun rezim ini telah lama ditinggalkan oleh perekonomian dunia pada pertengahan dasa warsa 1930-an (Inggris meninggalkannya pada tahun 1931 dan seluruh dunia telah meninggalkannya pada tahun 1976). Kini uang kertas menjadi alat tukar karena pemerintah menetapkannya sebagai alat tukar. Sekiranya pemerintah mencabut keputusannya dan menggunakan uang dari jenis lain, niscaya uang kertas tidak akan memiliki nilai sama sekali.

Banyak kalangan yang ragu-ragu atau bahkan tidak tahu hukum uang kertas ditinjau dari sisi syariah. Ada yang berpendapat bahwa uang kertas tidak berlaku riba, sehingga kalau orang berutang Rp. 100.000,00 kemudian mengembalikan kepada pengutang sebanyak Rp. 120.000,00 dalam tempo tiga bulan, maka tidak termasuk riba. Mereka beranggapan bahwa yang berlaku pada zaman Nabi SAW adalah uang emas dan perak dan yang diharamkan tukar-menukar dengan kelebihan adalah emas dan perak, karena itu uang kertas tidak berlaku hukum riba padanya. Jawabannya dapat kita cari dari penjelasan yang lalu bahwa mata uang bisa dibuat dari benda apa saja, termasuk kulit unta, kata Umar bin Khattab. Ketika benda itu ditetapkan sebagai mata uang sah, maka barang itu berubah fungsinya dari barang biasa menjadi alat tukar dengan segala fungsi turunannya. Jumhur ulama sepakat bahwa illat dalam emas dan perak yang diharamkan pertukarannya kecuali serupa dengan serupa, sama dengan sama, oleh Rasulullah SAW adalah karena “tsumuniyyah” , yaitu barang-barang tersebut menjadi alat tukar, penyimpan nilai di mana semua barang ditimbang dan dinilai dengan nilainya.

Karena uang kertas secara de facto dan de jure telah menjadi alat pembayaran sah, sekalipun tidak dilatarbelakangi lagi oleh emas, maka kedudukannya dalam hukum sama dengan kedudukan emas dan perak yang pada waktu Alquran diturunkan merupakan alat pembayaran yang sah. Karena itu riba belaku pada uang kertas. Uang kertas juga diakui sebagai harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakat dari padanya. Zakatpun sah dikeluarkan dalam bentuk uang kertas. Begitu pula ia dapat dipergunakan sebagai alat untuk membayar mahar.

Modal dalam Perspektif Islam

Modal yang dalam bahasa Inggrisnya disebut capital mengandung arti barang yang dihasilkan oleh alam atau buatan manusia, yang diperlukan bukan untuk memenuhi secara langsung keinginan manusia tetapi untuk membantu memproduksi barang lain yang nantinya akan dapat memenuhi kebutuhan manusia secara langsung dan menghasilkan keuntungan (Lihat, William N. Loucks and J. Weldon Hoot, Lihat, William N. Loucks and J. Weldon Hoot, Comparative Economic Systems, hal. 19 Comparative Economic Systems Lihat, William N. Loucks and J. Weldon Hoot, Comparative Economic Systems, hal. 19, hal. 19). Secara fisik terdapat dua jenis modal yaitu fixed capital dan circulating capital. Fixed capital seperti gedung-gedung, mesin-mesin atau pabrik-pabrik,; yaitu benda-benda yang ketika manfaatnya dinikmati tidak berkurang eksistensi substansinya. Adapun circulating capital seperti: bahan baku dan uang ketika manfaatnya dinikmati, substansinya juga hilang. Perbedaan keduanya dalam syariah dapat kita lihat sebagai berikut. Modal tetap pada umumnya dapat disewakan, tetapi tidak dapat dipinjamkan (qardh). Sedangkan modal sirkulasi yang bersifat konsumtif bisa dipinjamkan (qardh) tetapi tidak dapat disewakan. Hal itu karena ijarah dalam Islam hanya dapat dilakukan pada benda-benda yang memiliki karakteristik, substansinya dapat dinikmati secara terpisah atau sekaligus. Ketika sebuah barang disewakan, maka manfaat barang tersebut dipisahkan dari yang empunya. Ia kini dinikmati oleh penyewa, namun status kepemilikannya tetap pada si empunya. Ketika masa sewa berakhir, barang itu dikembalikan kepada si empunya dalam keadaan seperti sediakala.

Uang tidak memiliki sifat seperti ini. Ketika seseorang menggunakan uang, maka uang itu habis. Kalau ia menggunakan uang itu dari pinjaman, maka ia menanggung utang sebesar jumlah yang digunakan dan harus mengembalikan dalam jumlah yang sama (mitsl) bukan substansinya (a’in).

Return on Capital

Dari uraian di atas nyatalah bahwa barang modal yang masuk dalam kategori tetap seperti kendaraan, mobil, bangunan, atau kapal akan mendapatkan return on capital dalam bentuk upah sewa jika transaksi yang dipergunakan adalah ijarah. Di samping itu barang-barang modal ini dapat juga mendapatkan return on capital dalam bentuk bagian dari laba (profit) jika transaksi yang dipergunakan adalah musyarakah atas dasar kaidah “Suatu barang yang dapat disewakan, maka barang tersebut dapat dilakukan musyarakah atasnya.” Ini telah dilakukan oleh kaum muslimin dari zaman dulu misalnya dalam transaksi muzara’ah. Dalam akad ini si empunya tanah menyediakan tanah untuk digarap oleh penggarap. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini dibagi dua sesuai dengan kesepakatan, misalnya 50:50.

Berbeda dengan fixed capital, circulating capital (dalam hal ini uang) tidak akan mendapatkan return on capital dalam bentuk upah sewa seperti dalam ijarah. Karena uang dalam Islam bukan komoditas yang bisa disewakan atau dijualbelikan dengan kelebihan. Ia dibutuhkan sebagai alat tukar saja. Tetapi ia memiliki return on capital bila dikembangkan dalam bentuk akad mudharabah. Ia juga dapat dipinjamkan (qardh) tetapi tidak diperbolehkan pengembaliannya melebihi pokoknya. Kelebihan demikian masuk dalam kategori riba. Wallahu a’lam bis-Shawab.

Kamis, 06 November 2008

ROTI BUSUK MANAGEMENT - GEDE PRAMA-

DARI:http://lenterahati.wordpress.com
Di sebuah perusahaan Jepang yang mengundang saya sebagai nara sumber, seorang eksekutif puncaknya sempat berargumen lama tentang sinyalemen yang saya sebut dengan berfikir ala kaca spion. Berjalan ke depan namun senantiasa melihat ke belakang.

Saya bisa memaklumi, kalau banyak rekan dari Jepang yang tidak setuju dengan hal terakhir. Secara lebih khusus, karena mereka sudah memiliki tradisi yang lama dan panjang tentang kegemaran mengutak-atik data yang telah lewat. Jangankan mengambil keputusan, bermain golf saja mereka disertai dengan data- data score cards masa lalu. Dalam bingkai berfikir ala kaca spion ini, satu- satunya cara untuk bisa hidup di hari ini, dan selamat di hari esok adalah dengan jalan mempelajari apa yang sudah lewat.

Ini semua mengingatkan saya, pada keyakinan-keyakinan yang ditanamkan secara berlebihan oleh kaum empiris dalam ilmu pengetahuan. Manajemen, melalui sejumlah tokohnya seperti Taylor yang menciptakan scientific management, juga terkena sindroma kaca spion. Kelompok Aston yang menjadi salah satu cikal bakal pendekatatan kontingensi - yang memiliki banyak sekali penganut sampai sekarang dalam dunia manajemen - juga membangun argumennya di atas kaca spion. Diktum ’structure follows strategy’ yang pernah dikemukakan seorang guru besar Harvard, serta memiliki penganut sampai sekarang, juga dibangun di atas tumpukan data masa lalu yang mengagumkan. Administrative Science Quarterly- sebuah jurnal manajemen berpengaruh yang diterbitkan MIT, dan penulisnya kebanyakan bergelar Ph.D sangat kuat diwarnai oleh penelitian-penelitian empiris yang amat mereka banggakan.

Nah, sekarang saya ingin membawa persoalan ini ke dalam pengandaian makan roti. Semua orang saya yakin - termasuk Taylor, kelompok Aston, Alfred Chandler serta pananggung jawab Administrative Science Quarterly - lebih menyukai roti yang fresh from the oven. Tidak ada yang mau memakan roti busuk hasil simpanan bertahun-tahun lalu.

Mirip dengan makan roti, manajemen yang lahir dari kumpulan data masa lalu, tidak membuat kepala manusia menjadi fresh. Tidak tertutup kemungkinan, malah membuat kepala kita menjadi roti busuk yang tidak berguna. Ini bisa terjadi - sebagaimana sudah sering saya tulis - karena semakin sedikit sejarah yang muncul dalam bentuk pengulangan. Sebagaimana sebuah pepatah Cina : ‘we can not step into the same river twice’. Sebab, sebagaimana sungai, kehidupan setiap detik berganti.

Sayang seribu sayang, di manapun orang belajar manajemen secara formal, senantiasa dihadapkan pada ribuan kaca spion. Ada kaca spionnya Drucker, Porter, Kotler, Ohmae, Mintzberg dan ribuan kaca spion sejenis. Bila kaca spion ini dibuat di tahun 1990-an masih mending. Tidak sedikit yang lapuk karena ditulis di tahu 50-an.

Tidak heran kalau Robert M.Pirsig - penulis novel Zen and The Art of Motorcycle Maintenance yang disebut Time sebagai unforgetable trip - pernah menulis : ‘Isaac Newton ia a very good ghost. One of the best. Your common sense is nothing more than the voices of thousands and thousands of these ghost from the past’.

Dengan demikian, tidak hanya manajemen yang dirasuki ‘hantu’ masa lalu. Semua sendi-sendi ilmu pengetahuan - meminjam argumen Pirsig - juga dirasuki oleh ‘hantu-hantu’ terakhir.

Anda tentu saja bertanya, kalau demikian kemana kita harus menoleh ? Terus terang, saya memang bukan pemegang bola kristal yang langsung bisa menunjuk sebuah jurus atau kiat. Di kolom ini, tugas saya lebih dekat dengan upaya menggoyahkan apa yang telah mapan dan membelenggu. Untuk kemudian, kembali ke dunia pengamatan yang segar dan jernih.

Memang, ada banyak cara untuk sampai ke tataran fresh mind. Namun, sangat penting untuk membersihkan fikiran dari ‘kotoran-kotoran’ masa lalu. Saya memilih untuk menantang dan mempertanyakan semua otoritas masa lalu - termasuk otoritas yang saya pernah buat sendiri.

Seorang peserta seminar dalam topik Crazy Times Call For Crazy People, pernah bertanya ke saya tentang skenario ke depan. Jawaban warasnya, siap-siaplah kita berhadapan dengan perekonomian yang dibangun di atas perusahaan-perusahaan skala menengah. Jawaban ‘gila’-nya - dan ini yang lebih saya rekomendasikan - berfikirlah keluar dari segala bentuk skenario. Dalam dunia fresh mind, tidak diperlukan skenario. Apa lagi skenario ‘jika-maka’. Yang ada hanyalah melihat tanpa mengkerangkakan. Mengutip sebuah pepatah Zen, sebesar apapun telunjuk yang digunakan untuk menunjuk bulan, tetap tidak akan bisa mewakili wajah bulan yang sebenarnya. Demikian juga dengan skenario.

Meminjam argumen guru meditasi saya di Inggris sana : ‘jumping into the unknown, dying from all the pasts and future ideals, live the present just as they are’.

Jadi, diperlukan keberanian untuk melompat ke wilayah fikiran yang tidak diketahui. Mati dari masa lalu dan idealitas masa depan. Serta hidup di masa kini sebagaimana adanya.

Kembali ke pangandaian semula tentang makan roti, inilah yang saya sebut dengan roti manajemen yang fresh from the oven. Bukan roti majajemen busuk yang sudah lama membuat kita terkejut, terkaget dan hidup asing dari masa kini yang senantiasa segar.

Ah, ini hanyalah sekumpulan fikiran yang kerap disebut utopis oleh sejumlah orang - terutama kaum empiris. Mereka yang membenci ketidakjelasan ini, bahkan menyebut saya makar dan provokator. Namun, dibandingkan dimakari dan diprovokator oleh kecenderungan, saya lebih memilih untuk memprovokator dan memakari fikiran-fikiran saya sendiri.

Konosuke Matsushita, Thomas J. Watson, Bill Gates, Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, Lady Diana, Ibu Theresa, Cory Aquino, Winston Churchill adalah sebagian kecil dari deretan manusia yang menjadi provokator dan tukang makar bagi fikiran-fikirannya sendiri.http://www.blogger.com/img/blank.gif
Tambah Gambar

Anda juga saya harapkan bisa menjadi provokator dan tukang makar tidak hanya bagi fikiran Anda, tetapi juga bagi fikiran gombal yang menjadi fundamen tulisan ini. Tanpa itu, kita hanya mengulangi sejarah manajemen yang berjalan sudah amat lama dan panjang : memakan roti busuk.

Gede Prama

Senin, 03 November 2008

PEMBENTUKAN MENTAL

Beberapa waktu yang lalu sebuah klub sepak bola Inggris bertandang ke Indonesia untuk mengisi waktu liburan, ketika itu pemain terbaik klub tersebut ditarik ke negara masing-masing untuk mengikuti pertandingan Piala Eropa 2008. Meski tanpa pemain terbaiknya, bahkan pemain yang ada main asal-asalan, ternyata bisa menang telak melawan Tim Nasional Indonesia yang menurunkan seluruh pemain terbaiknya dan bermain habis-habisan. Kekalahan telak itu telah dialami secara beruntun dengan negara manapun.

Sebenarnya kekalahan Tim Indonesia itu terjadi justeru sejak di luar lapangan sudah mengalami kekalahan, tidak hanya itu suporter yang datang juga tidak berharap timnya menang, mereka hanya ingin melihat pemain Eropa yang selama ini hanya disaksikan lewat televisi. Artinya penonton sendiri juga telah kalah di luar lapangan, dengan menyadari akan kelemahan bahkan rendahnya kualitas kesebelasannya.

Sementara di laga Piala Eropa bisa kita saksikan beberapa negara kecil dengan sistem persepakbolaannya yang tidak cukup maju bisa menggilas raksasa sepak bola, seperti Kroasia menggasak Jerman, Swis menyingkirkan Inggris dari pertandingan bergengsi Eropa ini. Turki bisa menjungkalkan Polandia. Ini tidak lain karena mental mereka telah dibina, tidak hanya mental pemain, tetapi juga mental para pengurus sepak bola nasionalnya. Ini karena pemerintahnya memang memiliki mental baja demikian juga rakyatnya memiliki optimisme menjadi juara.

Sememntara bangsa kita semakin hari semakin dihinggapi mental inlander. Justru semakin terpelajar menjadi semakin inlander. Mereka mengangap bangsa kulit putih Eropa sebagai segalanya, dan harus tunduk, tidak hanya secara politik, tetapi juga secara budaya. Kelompok terpelajar baik yang ada di perguruan tinggi, media massa, militer dan politik hanya mau mendengar pendapat para konsultan asing, sama sekali mengabaikan kemampuan bangsa sendiri. Ketakutan pada bangsa bule sangat kelihatan, pelayanan terhadap mereka selalu diutamakan, sementara bangsa sendiri dinomorduakan.

Sejak masa kebangkitan hingga masa perjuangan kemerdekaan sampai masa awal kemerdekaan yang dilakukan oleh para aktivis pergerakan adalah membangun mental rakyata atau bangsa Indonesia yang dikenal dengan character building (pembentukan karakter) agar mereka sadar sebagai bangsa yang terhormat, bukan bangsa budak. Dengan kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat itu mereka berani menuntut keadilan dan menuntut kemerdekaan dan memperjuangkannya dengan penuh risiko.

Hanya bangsa yang memiliki karakter yang bisa berdiri setara dengan bangsa lain, selama masih bermental inlander maka bangsa ini tidak bisa memperoleh kemajauan, walaupun pendidikan telah menyebar luas. Sebab nantinya setelah belajar mereka hanya akan menjadi buruh atau pelayan. Tidak menjadi majaikan bagi bangsanya sendiri.

Dengan memiliki mental merdeka, bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dan disegani, sebab mereka bisa menentukan nasib sendiri, berani mengambil keputusan sendiri sesuai dengan aaspirasi rakyat dan bangsanya. Tidak lagi didikte oleh bangsa lain yang ingin merebut kekuasaan dan kekayaan negara. Dengan kemandirian itu bangsa ini akan menjadi bangsa yang disegani, karena bisa mendiri tidak hanya secara politik tetapi juga bisa mandiri secara ekonomi. Kemandirian itu bisa dimiliki kalau memang punya mental mandiri.

Selama ini Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi para pemimpinnya selalu meminta batuan kemana-mana. Setiap menjalankan program tidak pernah dibiayai dan dilaksanakan sendiri, tetapi selalu mengutang atau digadaikan pada bangsa lain. Bahkan untuk mendidik bangsanya sendiri dilakukan dengan mengemis beasiswa pada bangsa lain. Untuk menjalankan roda politik dan pemerintahan juga meminta dana pada bangsa lain. Tidak berusaha mendanai sendiri, agar punya kemandirian dalam mengambil keputusan. Mental pengemis, mental calo sudah terlalu dalam menjangkiti bangsa kita, tidak hanya kalangan pemimpin politik, tetapi telah menjangkiti semua level kepemimpinan, masyarakat dan budaya.

Pembentukan mental yang mandiri, tegas, mau berkorban dan bermoral. Dan tidak kalah pentingnya mesti memiliki mental pemimpin dan mental juara, ini merupakan kunci pembangunan bangsa ini. Karena itu semestinya pendidikan nasional diarahkan ke sana. Sementara ini pendidikan nasional masih diarahkan pada penciptaan tenaga kerja, sehingga mengabaikan perbaikan moral dan pembentukan mental bangsa. Reorientasi pendidikan nasional menjadi sangat mendesak guna membangun bangsa ini. Karena dalam lembaga pendidikan itulah nilai-nilai, pengabdian, kejujuran dan perjuangan diwariskan dan disebarluaskan kepada seleuruh warga bangsa.

Dari permainan kesebelasan itu kita bisa mengambil ibarat, mengambil pelajaran dan contoh, bagaimana dengan mental baja yang penuh perjuangan sebuah kesebelasan dari negara yang tidak diunggulkan, tetapi mampu mengimbangi negara raksasa, bahkan diantaranya mampu mengalahkan secara telak.

Untuk meperoleh kemajuan dan kemenagan pertama kali yang harus dibangun adalah mentalnya, dari situ kemudian timbul semangat berjuang, karena memiliki harapan dan memilikimpeluang untuk maju, untuk menang. Kalau dulu kita tidak dibekali semangat juang, tidak dibekali pengorbanan, tentu tidak akan menjadi bangsa merdeka. Tetapi mental mandiri, mental merdeka dan perjuangan itu mulai redup, karena itu eksistensi kita juga ikut redup. Itu yang perlu dibenahi saat ini dengan upaya membangun kembali mental bangsa melalui pendidikan, melalui lembaga politik dan lembaga kebudayaan termasuk dengan menggunakan lembaga keagamaan. (Abdul Mun’im DZ)