Minggu, 23 November 2008

Kobe Beef

Oleh: Rhenald Kasali
sumber http://www.geocities.com/big_bang_inspiration/rhenald.htm
Minggu lalu saya mampir di Osaka untuk mengantarkan mahasiswa program doktoral kami, Putu Ary Suta, untuk melakukan presentasi makalah ilmiahnya di Kobe University. Selain itu, bersama Rektor UI, hari itu kami menandatangani kesepakatan kerjasama untuk membangun semacam aliansi antara program kami dengan Kobe. Dengan begitu, kita bisa saling melakukan pertukaran pengetahuan, saling mengirim pengajar maupun mahasiswa dalam melakukan riset dan bimbingan. Dari Kobe, saya dengan team berangkat ke Puerto Rico dan Illinois untuk melakukan penjajakan kerjasama. Kalau tak ada halangan, dalam waktu dekat akses pada universitas-universitas terkemuka akan semakin terbuka bagi mahasiswa kita.

Ada banyak hal menarik yang secara akademik dapat saya ceritakan. Apalagi di Puerto Rico kami bertemu dengan ahli strategic management yang memperkenalkan konsep-konsep baru. Di sana ada Richard D'aveny yang menulis buku Hypercompetition , Pangkaj Gemawat, Bala Chaknavati, dan sebagainya. D'aveny bahkan berjanji tahun depan akan mampir ke UI untuk memberikan ceramah. Tetapi yang menarik perhatian saya tentu saja bukan melulu hal-hal yang bersifat ilmiah. Di Jepang, dalam suatu jamuan makan malam, kolega saya, Prof. Frutani, yang sudah 30 tahun bekerja untuk Sumitomo malah mempersoalkan bagaimana Jepang eksis dalam menghadapi persaingan secara praktis. Ia tak lagi bercerita tentang Sony, Matsushita, atau Toyota melainkan Kobe Beef.

Kobe Beef adalah daging sapi yang dibuat tanpa strategi, katanya. Kami memang sempat mencicipinya, dan Masya Allah, sulit sekali mempercayainya. Dagingnya enak dan lembut sekali. Di sebuah restoran kecil di Kobe, kebetulan tamunya hanya team kami saat itu, sehingga saya bebas menggali segala sesuatu tentangnya. Menurut si pemilik, daging Kobe dikenal karena sapinya minum beer. Sulit saya mempercayainya karena harga sebotol beer sangat mahal.

Betul, awalnya adalah suatu kebetulan. Seseorang menawarkan memberi minum beer kepada pemilik sapi. Konon sebelum era Edo, orang-orang Jepang dilarang makan hewan berkaki empat. Mereka cuma makan hasil laut, ayam dan burung-burungan. Tapi ketika Jepang membuka diri dan orang-orang asing berdatangan, mereka mulai berkenalan dengan sapi karena mereka ingin makan daging. Mereka mulai memperdagangkan daging sapi. Tetapi suatu ketika, seorang pemilik pabrik minuman ingin memberikan beernya kepada sapi-sapi tetangganya dan ternyata sapi-sapi itu doyan pula. Lama-lama pemilik pabrik beer itu ikut-ikutan membeli sapi dan memeliharanya. Karena sayang dengan sapi-sapi itu, ototnya dipijat-pijat setiap hari. Belakangan diketahui pijatan-pijatan itu mampu membuat sapi menjadi relaks dan otot-ototnya tidak kaku. Dan ketika disembelih, baru ketahuan betapa nikmatnya daging sapi yang minum beer dan dipijat setiap hari.

Tapi benarkah Kobe Beef dibuat tanpa strategi? Tentu saja tidak 100%. Asosiasi usaha di era sekarang, secara konseptual disebut Michael Porter sebagai Institute for Collaboration (IFC). Dalam konsep cluster, IFC punya peran yang sangat besar merumuskan strategi. Kalau perusahaan-perusahaan bisnis dikelola dengan sangat baik, tetapi IFC dan negaranya malas, competitiveness yang dimiliki oleh suatu badan usaha akan menjadi sangat pincang. Akibatnya, mereka bisa pindah mencari lokasi di daerah atau negara-negara lain yang pemerintahannya juga kompetitif. Di Kobe, pemerintah daerah bersama-sama dengan IFC segera menciptakan strategi itu. Dalam buku terbarunya (Trout on Strategy) , Jack Trout menandaskan, “Strategy is all about being different” . Selain itu ia juga menandaskan bagaimana suatu product dibuat dapat juga dijadikan unsur pembeda yang penting. IFC di Kobe mengambil peran itu. Salah satunya adalah menciptakan standard quality . Untuk disebut sebagai Kobe Beef, mereka menyepakati 18 checking points,/i>. Mereka memeriksa kelembutan, tekstur, warna, kadar air, dan sebagainya. Begitu salah satu tidak terpenuhi, ia tidak dapat dijual sebagai Kobe Beef dan harganya jatuh sebagai komoditi. Tahu berapa harga sepotong daging steak Kobe Beef? Benar, harganya bisa tujuh hingga sepuluh kali lipat daging biasa. Maka kala tak cukup punya uang, jangan sekali-kali memesannya, bisa pusing kepala.
Saya memikirkan ribuan produk-produk hasil alam buatan Indonesia yang semakin hari harganya semakin terpuruk di sini. Tidak adakah cara bagi kita untuk memperbaiki daya saingnya dengan hal-hal seperti di atas?

Tidak ada komentar: