Sabtu, 13 September 2008

Modernisasi integritas pajak

Sumber : Bisnis Indonesia
Tanggal : 03 April 2006

Modernisasi integritas pajak

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati rupanya "kesengsem" dengan
keberhasilan modernisasi kantor pajak, yang membuat penerimaannya
melonjak antara 30% hingga 40% dibandingkan sebelum dimodernisasi. Atas
dasar itu, Menteri merencanakan untuk memodernisasikan seluruh kantor
pajak yang ada di Indonesia.
Memodernisasi kantor pajak memang sudah seharusnya merupakan prioritas
tinggi karena ketergantungan pemerintah pada penerimaan pajak juga
sangat besar. Hampir 80% penerimaan APBN bersumber dari penerimaan
perpajakan.
Namun, jika modernisasi tersebut dikarenakan penerimaan di salah satu
KPP modern (dalam hal ini KPP Tebet, Jakarta Selatan) yang melonjak
hingga 40%, dan berharap setelah semua kantor pajak dimodernisasi maka
penerimaan pajak secara nasional melonjak 40%, Menteri Keuangan bisa
salah hitung.
Ada beberapa faktor yang harus diperhitungkan, a.l. pertama, perubahan
dari KPP biasa menjadi KPP modern biasanya diikuti dengan perubahan
sebagian wajib pajak. Sehingga tidak otomatis pertumbuhan penerimaan
tersebut dipengaruhi oleh faktor modernisasi. Pengaruh modernisasi
harus dilihat pada masing-masing WP, antara sebelum dan sesudah menjadi
WP di KPP modern.
Kedua, pertumbuhan penerimaan pajak dari tahun ke tahun rata-rata
tumbuh antara 20% hingga 25%. Sehingga bila di satu KPP pertumbuhan
penerimaan pajak mencapai 40%, tidak bisa seluruh angka pertumbuhan itu
diklaim sebagai keberhasilan modernisasi.
Ketiga, pengaruh eksternal (kondisi keuangan WP) terhadap penerimaan
pajak jauh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh internal kantor
pajak (modernisasi administrasi dan pelayanan pajak).
Untuk itu, modernisasi kantor pajak harus dilihat sebagai apresiasi
pemerintah kepada wajib pajak. Baik dan buruknya pemerintahan bisa
dilihat dari bagaimana cara kerja kantor pajak. Jika pelayanan di
kantor pajak buruk, jangan harap pelayanan publik di tempat lain akan
lebih baik. Logika yang sederhana.
Selain itu, Menteri Keuangan juga harus menjawab pertanyaan yang
berkembang di masyarakat. Mengapa modernisasi dimulai dari kantor
pelayanan pajak (tingkat operasional) bukan dari kantor pusat?
Idealnya modernisasi bisa dilakukan secara serempak, di kantor pusat
yang menjadi dapur kebijakan dan di kantor pelayanan yang menjadi ujung
tombak (outlet). Namun, jika karena satu dan lain hal (seperti
keterbatasan dana), mana yang lebih urgent untuk dimodernisasi: Kantor
pusat atau kantor pelayanan?
Salah satu sifat atau perbedaan yang mencolok, di KPP modern diterapkan
kode etik pegawai yang lebih ketat. Pengawasan pegawai di KPP modern
jauh lebih tegas. Sampai-sampai ada larangan bagi pegawai di KPP modern
untuk makan siang bersama WP. Sistem ini bisa diterapkan karena mereka
memang sudah melalui seleksi yang ketat serta mendapat sistem
penggajian yang jauh lebih memadai.
Namun, penerapan dua sistem dalam satu institusi ini juga menimbulkan
pertanyaan. Ada kesan pegawai pajak di KPP modern makan siang bersama
tidak boleh, tapi pegawai di KPP biasa, apa saja boleh. Sehingga muncul
guyonan di antara pegawai pajak. Mereka yang bekerja di di KPP modern
menyebut dirinya sudah syariah, sementara yang ada di KPP biasa
menyebut dirinya syori-ah (baca: sorry ah).
Menteri Keuangan yang datang dari kalangan akademisi tentu sangat paham
bahwa modernisasi tidak terbatas pada alat dan perangkat, tapi yang
jauh lebih penting adalah modernisasi mental dan integritas aparat
pajak.

Tidak ada komentar: