Senin, 21 September 2009

LULUSAN PhD- Jadi Sopir


Lulusan PhD Stanford Itu, Kini Jadi Sopir
Sunday, 13 September 2009 10:46tullah.com
Diunduh dari: www.hidayahtullah.com


Kisah ini dapat menjadi teladan bagi kita bahwa gelar, titel, dan apapun embel-embel dibelakang nama kita sebenarnya bukan apa2..kita tidak dituntut memiliki gelar tapi tidak memiliki nilai plus yaitu manfaat bagi orang lain siapapun mereka, kita lihat person bangsa ini yang masih sibuk menguber gelar akademis tapi tidak ada perubahan pada kemajuan walau pun itu ada kemajuan itu lambat dan sering timbul konflik interest,karena yang mereka pelajari hanya ilmu dimeja kuliah tapi bukan ilmu kehidupan yang benar-benar realita yang sebenarnya dibutuhkan buat negeri ini atau tujuan hanya untk mengejar materi saja (karir, pangkat jabatan,status, harta kedudukan) , di sini orang masih demam gelar (S1, S2, S3) karena didukung lembaga pendidikan yang sengaja menciptakan gelar dengan kelulusan serba Instan tapa harus bersusah payah (tanpa proses belajar sebenarnya), banyak dari mereka lupa tugas yang harus diemban dibalik gelar tersebut. Maka penulis meniru kata-kata yang ada di media iklan TV "Tanya Ken Napa?"..coba kita simak kisah ini yang kami ambil dari sumber yang dapat dipercaya,yang semoga dapat menjadi pelajaran dan pemikiran kita semuanya.bahwa ternyata komitmen, integritas, dan kejujuran diatas segala-galanya, bukan hanya kemauan mengejar materi yang tidak akan ada habisnya dan kata kunci adalah Change (perubahan) yang dapat memutar balikkan kenyataan yang ada selama ini.

Kehidupan akan ada pasang surut dan perubahan (Change) yang selalu melesat terus seiring dengan kepintaran manusia dalam memenuhi kebutuhanya dengan dukungan manajemen yang mengikuti teknologi, selera pasar, trend, sosial kultural, perkembangan ke ilmuan, cara berpikir dan sebagainya.Tidak ada manusia di bumi ini yang sanggup tetap bertahan dengan prinsipnya sendiri jika tidak mampu merubah pola pikirnya (mind set)maka dia akan kelihatan seperti Dinosaurus yang kuat,besar, ganas tapi akhirnya hilang (punah) dari peredaran, oleh karena itu paradigma lama harus disesuaikan dengan perubahan yang ada dengan tetap memegang teguh nilai Agama dan moralitas, karena adanya filter akan membuat kita kuat di tengah perubahan dunia ini yang cenderung sekular dan orientasi pada bisnis semata..mari kita simak kisah ini semoga bermanfaat terima kasih.


Ia telah menghabiskan 16 tahun sebagai peneliti di Institute of Molecular and Cell Biology (IMCB). Tapi akhirnya, nasib menjadikannya seorang sopir

Hidayatullah.com—Cai Mingjie tak pernah berpikir sebelumnya jika kehidupannya berbalik 180%. Maklum, pria berkacamata ini sebelumnya adalah seorang ilmuwan dengan reputasi bagus. Pendidikan terakhir PhD bidang biokimia diselesaikan dari universitas ternama, Stanford University.

Namun pria yang pernah menjadi kepala peneliti bidang genetika sel di IMCB ini pergi meninggalkan institusi bergengsi itu dan memilih menjadi sopir taksi.

"Saya dipaksa keluar dari pekerjaan riset di saat karir saya berada di puncak, dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan lain dengan alasan yang hanya bisa saya katakan sebagai "keunikan dari Singapura," ujarnya dalam sebuah situs blog miliknya.

“Akibatnya, saya mengemudi taksi untuk membuat hidup dan menulis kisah kehidupan nyata ini hanya untuk membuat pekerjaan yang membosankan sedikit lebih menarik. Saya berharap bahwa kisah-kisah yang menarik untuk Anda juga, " ujar Dr. Cai.

Berita mengenai Dr. Cai ini sangat mengejutkan masyarakat Singapura, sebuah negara yang tingkat kemajuan pendidikan dianggap tinggi dan tidak diragukan lagi.

Seorang pekerja kerah putih yang sangat terkejut mengatakan, sebelumnya ia sangat yakin bahwa gelar setingkat doktoral dan pengalaman segudang merupakan jaminan untuk memiliki pekerjaan yang mapan dan kesuksesan abadi.

"Jika ia akhirnya harus menjadi sopir taksi, maka kesempatan apa yang dimiliki orang-orang biasa seperti kami ini?" tanyanya.
Saya pernah bertemu dengan sejumlah sopir taksi yang memiliki kualifikasi tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini, termasuk mereka yang dulunya adalah manajer dan insinyur.

Seorang sopir yang ceria, suatu hari mengejutkan saya karena memberikan penjelasan lengkap mengenai saham apa yang sebaiknya dibeli dan mana yang harus dihindari. Ternyata ia dulunya seorang pialang saham.

"Pada masa seperti sekarang ini, mungkin hanya bisnis taksi yang masih aktif menerima pegawai di Singapura, kata Dr. Cai.
Bagi saya, perubahan hidup Dr. Cai itu membawa Singapura ke dalam babak baru.

"Saya mungkin satu-satunya sopir taksi dengan gelar PhD dari Stanford dan memiliki pengalaman yang diakui dibidang sains..." tulis Dr. Cai dalam blog nya.

Gelar Doktoral

Kisahnya Dr. Cai ini segera menyebar di dunia maya. Kebanyakan orang Singapura menyatakan penghargaan mereka atas kemampuannya beradaptasi begitu cepat dengan kehidupan barunya. Dua orang pemuda Singapura menanyakan nomor taksinya, berkata bahwa mereka akan sangat senang sekali jika bisa berkeliling dengan taksinya dan berbincang-bincang.

"Banyak (pelajaran) yang bisa ia berikan kepada saya," kata seseorang.

Lainnya bertanya, mengapa ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan mengajar, mengingat pengalaman ilmiahnya yang begitu mengagumkan.

Keluarnya ia dari pekerjaan lama sebenarnya lebih disebabkan karena alasan pribadi (ia dituduh membuat kekacauan oleh para pemimpin penelitian), dan bukan karena lesunya proyek bidang bioteknologi di Singapura, yang masih bisa bertahan di masa krisis ini.

Kasusnya iitu menjadikan kelemahan umum di bidang R and D (research and development) Singapura mendapat sorotan.

"Kondisi ekonomi yang buruk artinya tidak banyak perusahaan yang mampu membayar ilmuwan profesional," kata seorang peselancar dunia maya. "Gelar akademik tidak banyak membantu--sejarah membuktikan banyak orang yang bergelar PhD berburu mencari pekerjaan."

Sementara citra sopir taksi menjadi terdongkrak tinggi, tidak demikian keadaannya dengan proyek biomedika Singapura, khususnya upaya mereka untuk menumbuhkan bibit talenta peneliti baru di dalam negeri.

"Semakin banyak orang Singapura yang menjauh dari karir di bidang sains," kata seorang blogger.

Seseorang menulis, "Menurut saya, gelar PhD tidak berguna, terutama di Singapura. Itu hanya selembar sertifikat, tidak lebih."
Lainnya menambahkan, "Di Amerika Serikat keadaannya lebih parah. Banyak yang datang ke sini untuk mencari pekerjaan."

"Saya tidak ingin anak saya bertahun-tahun sekolah akhirnya hanya menjadi sopir taksi," kata seornag ibu rumah tangga yang memiliki putri remaja.

Kasus yang menimpa warga negara Singapura, yang menjalani penelitian PhD-nya di Universitas Stanford dengan subyek penelitian seputar protein pengembang itu, sebenarnya tidak unik.

Ilmuwan peneliti Amerika, Douglas Prasher, yang berhasil mengisolasi gen yang bisa menghasilkan protein bersinar hijau--dan baru saja gagal meraih penghargaan Nobel 2008, menghadapi situasi yang sama.

Prasher pindah dari sebuah lembaga penelitian ke lembaga lain ketika dana penelitiannya habis. Pada akhirnya ia berhenti menggeluti sains, dan beralih menjadi sopir antar-jemput di Alabama.

"Meskipun demikian, ia tetap rendah hati dan bahagia dan kelihatan senang dengan pekerjaan mengendarai minivan-nya," kata seorang peselancar internet.

Dengan berubahnya pasar dunia kerja yang tersedia, dan semakin banyaknya pemilik usaha yang menginginkan beberapa pekerjaan bisa dilakukan oleh satu orang dengan kontrak kerja yang singkat, maka semakin banyak orang Singapura yang mengejar gelar yang berbeda. Misalnya akuntansi dengan hukum atau komputer dengan bisnis.

Sebagian orang mulai menghindari gelar pascasarjana atau bidang-bidang ilmu khusus. Mereka lebih memilih bidang keilmuan yang lebih umum atau lintas sektor.

"Pengalaman adalah raja," itulah semboyannya sekarang. Dan orang-orang berbondong-bondong mencari tempat magang tanpa bayaran.
"Di masa datang, yang dibutuhkan adalah para lulusan dengan keterampilan yang beragam dan karir yang fleksibel, orang-orang yang bisa menyesuaikan diri dengan berbagai pekerjaan yang berbeda," kata seorang pengusaha.
Selama beberapa tahun terakhir, di mana globalisasi semakin dalam, ada ketidaksinkronan antara apa yang dipelajari oleh orang Singapura di universitas dengan karir yang dijalaninya.

Singapura mengikuti tren di dunia maju, di mana bisnis-bisnis lama bisa hilang sekejap dalam satu malam, kemudian muncul bisnis yang baru, yang menjadi masalah bagi mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri.

Saya mengenal seorang pemuda, insinyur sipil dari universitas terkemuka di Amerika, yang menelantarkan dunia konstruksi untuk menggeluti dunia mengajar.

Seorang insinyur lainnya yang saya temui, mengurus kedai kopi ayahnya yang sangat menguntungkan. Lainnya, pengacara yang kemudian menjadi musisi atau jurnalis, dan lain sebagainya.

Kasus di mana orang-orang melakukan pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan mereka, semakin hari semakin banyak. Sehingga para pewawancara yang menanyai calon pegawai tidak lagi bertanya, "Mengapa seorang ilmuwan berpengalaman seperti Anda mau bekerja sebagai pegawai tingkat rendah?"

Di masa lampau orangtua pusing memikirkan bidang studi apa yang harus ditempuh oleh anaknya, akuntansi atau hukum atau teknik, bidang-bidang yang menjanjikan kesuksesan. Dan mereka akan menentukan satu bidang, dan terus mengejar dan menggelutinya hingga menjadi profesi.
Seorang dokter akan bekerja menjadi dokter, seorang ahli biologi akan bekerja di laboratorium, dan pengacara akan sibuk berdebat di pengadilan.

Dr Cai adalah pria kelahiran China yang kemudian menjadi warga negara Singapura, setelah memperoleh PhD dalam bidang biologi molekuler dari Universitas Stanford tahun 1990. Dia bergabung IMCB dua tahun kemudian dan bekerja sebagai kepala peneliti di bidang genetika sel sampai kepergiannya.

Ia dihentikan dari di Institut Molekuler dan Biologi Sel (IMCB) di ASTAR Singapore, tempat di mana dia sudah bekerja selama 16 tahundan tak dapat menjamin pekerjaan lain sampai penghentiannya bulan Mei 2008. Menjelang November 2008, dia memutuskan menjadi seorang sopir taksi.
Kini, pria dengan seambrek kurikulum vitaes dan pengalaman universitas, lembaga pemerintah dan perusahaan menjadi sopir kendaraan Toyota Crown. “Pada saat seperti ini, bisnis taksi mungkin satu-satunya usaha di Singapura yang masih aktif merekrut orang, " katanya. [di/ts/www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar: