Selasa, 28 Oktober 2008

Estate Economic


Oleh: Heru Narwanto-Majalah Housing Estate
Edisi 1: ASYMMETRIC INFORMATION

Pasar akan beroperasi secara sempurna kalau antara penjual dan pembeli mempunyai penguasaan informasi yang seimbang atas produk yang diperjualbelikan. Realitasnya? Tidak (selalu) demikian. Developer tahu persis, A sampai Z, kualitas perumahan yang dijualnya. Konsumen mungkin hanya tahu A sampai K, sebagian saja. Apakah kemudian developer pasti diuntungkan dengan kondisi ini? Bisa ya, bisa tidak. Ini adalah problem asymmetric information.

Ekonom Amerika, George Akerlof pada 1970 menulis tentang problem ini (yang kemudian meraih Nobel Prize pada 2001). Akerlof mengurai problem ini dengan mengambil contoh pasar mobil seken. Penjual memiliki informasi yang lebih banyak tentang kondisi mobil yang akan dia jual dibanding pembeli. Walaupun fisik luar mobil itu hampir semua sama, tetapi penjual tahu sebagian berkualitas buruk (oleh sang ekonom diistilahkan ’lemon’) dan sebagian berkualitas prima (diistilahkan ’peach’). Pembeli tidak banyak tahu mana mobil yang berkualitas. Anda mungkin berfikir kondisi ini menguntungkan penjual (karena dia pihak yang punya informasi lebih atas mobil itu). Kita lanjutkan bagaimana skenario Akerlof jika sebuah mobil ditawarkan Rp.60juta. Pembeli tidak akan mengambilnya, karena dia tidak yakin apakah mobil itu ’peach’ atau ’lemon’, peluang dia untuk dapat mobil prima (peach) hanya 50 persen. Pembeli yang berani gambling mungkin akan menawar Rp.30 juta. Mungkin penjual melepas di harga itu kalau kebetulan yang dipilih adalah mobil kualitas buruk. Jika sebaliknya, tentu penjual tidak akan melepaskannya. Masalahnya, jika penjual melepas diharga Rp.30 juta, segera pembeli berfikir ”ah, ini pasti mobil berkualitas buruk”. Pembeli tidak mau. Penjual bisa saja meyakinkan ”semua mobil saya berkualitas prima”, tetap saja mobil itu sulit dijual pada Rp.60juta, karena sekali lagi, pembeli tidak yakin apakah dia mendapatkan mobil prima. Pasar buntu.

Itulah kenapa pada saat sekarang anda menjumpai show room mobil dibangun megah pada lokasi strategis. Para ekonom menyebutnya ’signaling’. Dengan menjual mobil pada show room, penjual mengirim ’signal’ pada konsumen bahwa ”semua mobil saya berkualitas prima”. Pembeli yang merasa tertipu dapat datang kapan saja untuk komplain karena show room itu berdiri permanen. Pembeli juga akan berfikir ”penjual ini tentu tidak akan main-main dengan kualitas mobilnya, karena membangun show room perlu investasi sangat besar, tentulah orientasi bisnisnya jangka panjang”. Pasar berjalan kembali. Signaling merupakan salah satu solusi dari lemons problem. Mungkin itu juga kenapa bank-bank membangun gedung megah (sebagian teramat megah) untuk kantornya. Signaling!

Sekarang kita bisa mengurai berbagai fenomena dalam pasar properti di sekitar kita menggunakan kerangka teori asymmetric information. Kenapa harga properti pada saat louncing jauh lebih murah dibanding satu tahun kemudian (ketika sudah terbangun)? Kenapa beberapa pengembang tertentu begitu mudah menjual produknya (padahal konsumen baru melihat visualisasi produk dalam bentuk gambar), dan kenapa sebagian pengembang lain sangat alot menjual produknya?

Sebelum di akhiri tulisan ini, penjual tidak selalu menjadi pihak yang punya penguasaan informasi yang lebih atas produk yang akan dijualnya. Contoh, agen properti (broker) lebih banyak tahu tentang taksiran harga dan pasar properti dibanding masyarakat yang ingin menjual rumahnya. Steven D. Levitt dalam buku bestseller-nya ”Freakonomics” membahas dengan menarik bagaimana agen properti dapat memaksimalkan keuntungan karena kondisi penguasaan informasi yang tidak seimbang ini. Bulan depan kita lanjutkan tentang ini.

Satu lagi, kembali ke penjual mobil tadi: apakah mobil yang ada di show room tadi benar-benar berkualitas prima semuanya? Juga, apakah performa keuangan bank-bank tadi sekokoh gedungnya? Asymmetric information.

Heru Narwanto

1 komentar:

Anonim mengatakan...

baca juga artikelku
http://muhammadzaidan.wordpress.com/
thank's