Menguji Prinsip Investasi Kiyosaki di Indonesia
Oleh: IR. TONY EDDY, MBA, MSC
Beberapa waktu lalu Jakarta dihebohkan seminar Robert T. Kiyosaki yang intinya megajarkan kita menjadi kaya raya. Uang yang bekerja untuk kita, bukan sebaliknya. Begitu indahnya slogan tersebut hingga ribuan orang menghadiri seminar di Jakarta Convention Center itu. Banyak dari mereka yang berprofesi sebagai agen asuransi, agen properti, broker saham, bahkan juga terlihat tokoh pemasaran Hermawan Kartajaya.
Inti yang diajarkan adalah bagaimana mengelola cash flow. Apapun bisnis atau properti yang kita miliki, arus cash mftwharus lebih besar daripada cash outflow. Jadi kalau kita membeli properti, harus langsung menghasilkan income, agar setiap bulannya kita tidak perlu merogoh kocek untuk membayar KPR/KPA. Bahkan kalau mungkin masih ada kelebihan dari uang sewa.
BEBERAPA PRASYARAT
Ide tersebut berhasil dilakukan di negara-negara yang mempunyai beberapa kondisi pembiayaan dengan prasyarat-prasyarat di bawah ini.
Pertama, tersedianya KPR/KPA dengan bunga rendah dan stabil untuk jangka 25-30 tahun, serta hasil sewanya (rentalyield) lebih tinggi dari bunga kredit.
Di Amerika Serikat dan Kanada, bunga KPR/KPA 5-6 persen per tahun. Sementara rental yield-nya 10-12 persen per tahun. Selain itu, tenor atau jangka waktu pelunasan pinjaman sampai 30 tahun. Maka hasil sewa per bulannya cukup bahkan berlebih untuk membayar cicilan.
Di Indonesia, bunga KPR/KPA 12-15 persen per tahun, sementara rental yield-nya 6-10 persen. Selain itu, tenornya maksimum 15 tahun. Sehingga hampir mustahil pemilik akan mendapatkan positive cash flow dari investasi properti-nya, kecuali uang mukanya minimum 50 persen.
Kedua, bank enggan membiayai konsumen yang jujur mengatakan akan menyewakan propertinya. Karena risikonya dinilai tinggi. Padahal jika properti laku disewakan, tentu si pemilik akan berjuang mati-matian agar 'mesin uang' nya itu tidak disita bank.
Ketiga, sistem pajak properti kita berbeda dengan di AS atau Kanada. Di sana konsumen bisa menunda membayar pajak pembelian selama mungkin. Selain itu, jika propertinya dijual, hanya dikenakan pajak kenaikan harga atau capital gain fexsaja. Malahan bunga KPR/KPA yang dibayar bisa diperhitungkan sebagai biaya, sehingga capital gain tax menjadi lebih kecil.
Di Indonesia tidak bisa seperti itu. Setiap kali membeli properti, kita sudah pasti kena pajak BPHTB 5 persen, kemudian kalau kita jual juga kena 5 persen pajak SSP, tidak peduli kita untung atau rugi.
Keempat, sebagian besar bank di AS dan Kanada sudah terbiasa dengan refinancing. Jadi kalau harga properti naik cukup tinggi, demikian pula dengan harga sewanya, kita bisa minta bank untuk merefinancing KPR. Kita dapat menaikkan plafon kredit, sehingga selisih plafon kredit bisa dikantongi sebagai penghasilan tambahan yang bebas pajak. Di Indonesia, jarang sekali ada bank yang melakukannya.
Kelima, di AS dan Kanada banyak yang berhasil menjadi kaya dengan membeli apartemen atau rumah, karena sewanya cukup tinggi, yield-nya 10-12%. Misalnya, rumah seharga US$120,000 bisa disewakan US$1.000 per bulan. Di sana, sewa sebesar itu sangat wajar dan banyak yang mampu membayarnya. Pelayan McDonald dengan bayaran US$7 per jam pun mampu
Rabu, 29 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar