
12/05/2008 23:31:55 WIB
Oleh Hari Gunarto dari http://www.madani-ri.com
JAKARTA, Investor Daily
Memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional 20 Mei, Investor Daily mengulas kinerja berbagai sektor ekonomi, juga di bidang politik dan hukum. Tulisan disajikan berseri mulai 12 Mei hingga 18 Mei.
Masihkah relevan kah kita bermimpi bahwa Indonesia bakal menjadi kekuatan ekonomi terbesar keenam atau ketujuh di dunia dalam beberapa dekade ke depan, sebagaimana diramalkan sejumlah lembaga ternama? Di manakah posisi Indonesia ketika seluruh negara di dunia kini sibuk membangun fondasi dan pilar ekonomi domestiknya?
Selamat kah negeri ini dari arus pusaran krisis energi dan pangan global, ketika fundamental makro dan sektor finansial yang menjadi benteng terakhir mulai rapuh? Ke mana hiruk pikuk reformasi yang meletihkan ini bakal berujung?
Sederet pertanyaan itu layak kita renungkan saat bangsa Indonesia tengah memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Sebuah rentang usia yang mestinya membuat negeri ini memiliki performa jauh lebih spektakuler dari yang dicapai sekarang.
Nyatanya, Indonesia masih dibekap belenggu yang sama, berkubang dalam lumpur masalah klasik serupa. Bangsa ini masih digayuti tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kesenjangan ekonomi, ancaman krisis ekonomi kedua, iklim investasi yang kurang kondusif, merajalelanya pungutan liar yang memicu high cost economy, otonomi yang kontraproduktif, ketidakpastian hukum, budaya korupsi yang menggurita, reformasi birokrasi yang lamban, dan segunung persoalan kronis lain.
Masih Tertinggal Bila memotret berbagai indikator ekonomi yang ada, Indonesia tampak semakin tertinggal dibanding bangsa lain. Sebut saja dalam indeks daya saing global, Indonesia berada di peringkat 54 dunia, kalah dari Filipina, India, dan Tiongkok. Dalam hal kemudahan berbisnis, Indonesia hanya menempati urutan 123, kalah dari negara ‘ecek-ecek’ macam Papua Nugini, Sri Lanka, Banglades, dan Pakistan.
Untuk indeks daya saing pariwisata, kita hanya mencapai peringkat ke-80, di bawah Sri Lanka, India, Malaysia, dan Thailand. Indonesia masih tak lepas dari cap negeri korup. Dari 179 negara yang disurvei Transparency International, RI terkorup nomor 10.
Dalam berbagai indikator ekonomi, prestasi Indonesia tergolong lamban, sementara banyak negara tetangga membuat lompatan mengagumkan. Termasuk negara-negara senasib yang dilanda krisis 1997/98, banyak yang performanya kini lebih impresif ketimbang Indonesia.
“Negara tetangga yang kena krisis cepat bangkit karena diobati dengan benar, sedangkan kita salah terapi,” ungkap Direktur Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa.
Bila kita tarik ke tahun 1990, PDB per kapita Indonesia mencapai US$ 699. Pada 2007, nilainya mencapai US$ 1.946 atau naik 178%. Tiongkok, yang PDB per kapitanya pada 1990 baru separuh Indonesia, yakni US$ 339, kini menembus US$ 2.460 atau melonjak 625%. Untuk periode yang sama, PDB per kapita Korea Selatan meningkat 219%, sedangkan Malaysia 185,5%. Dari sisi nominal, PDB negara-negara itu jauh di atas Indonesia.
Perkembangan ekspornya juga mengagumkan. Ekspor Malaysia melonjak 500% (dari US$ 29 miliar menjadi US$ 176,9 miliar). Nilai ekspor Tiongkok bahkan meroket hingga 1.861%, dari US$ 62 miliar menjadi US$ 1.218 miliar. Sedangkan Indonesia naik dari US$ 25,5 miliar menjadi US$ 114 miliar atau naik 347%.
Prestasi paling mencengangkan adalah cadangan devisa. Tiongkok per 2007 mengantungi devisa US$ 1.528 miliar (naik 5.062% dari tahun 1990). Malaysia naik 995% menjadi US$ 102 miliar. Sedangkan Indonesia baru memiliki cadangan devisa US$ 59 miliar.
Distorsi Politik-Ekonomi Para ekonom, pengamat, dan pengusaha yang dihubungi Investor Daily membeberkan berbagai analisis kenapa geliat ekonomi Indonesia begitu lamban. Purbaya berpendapat, biang keladinya adalah kebijakan saat Indonesia diterpa krisis 1997. Dia menilai penanganan kebijakan fiskal dan moneternya keliru. Hal itu menyeret kurs, sektor perbankan, dan sektor riil hancur sekaligus.
Menurut Sekretaris Menteri Negara PPN/Sestama Bappenas Syahrial Loetan, Indonesia tengah mengalami perubahan besar di segala bidang yang disebut big bang. ”Tak ada negara di dunia yang mengalami reformasi sekaligus.
Untung kita utuh tak tercerai berai,” tuturnya. Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat menilai, pembangunan ekonomi pascareformasi tidak dilakukan secara konsisten. ”Ada distori-distorsi politik dan ekonomi yang membuat kebijakan ekonomi tidak jalan. Selama 10 tahun ini, ada pergantian empat presiden, tapi yang dikorbankan sektor ekonomi,” tutur Hidayat.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Sandiaga Uno. Dia berharap para pemimpin menyepakati dulu gambaran besar kebijakan ekonomi. ”Ini PR besar bangsa ini. Ingat, sebelum krisis, negara kita adalah salah satu macan Asia,” tegasnya.
Kini, saat dunia dilanda krisis energi dan pangan, Indonesia gagal memanfaatkan momentum. Potensi sumber alam di bidang energi dan pertanian yang berlimpah ruah tak tergarap maksimal. ”Padahal, kenaikan harga komoditas dan energi ini sebetulnya keuntungan bagi kita sebagai negara yang kaya SDA,” kata Sandiaga.
Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan menyebut booming harga minyak dan tambang hanya dinikmati pengusaha di sektor tersebut. ”Yang jelas, sejak reformasi, kualitas hidup masyarakat memburuk. Tingkat kesehatan buruk. Mutu pendidikan tak jauh berbeda dari 10 tahun lalu,” ungkapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, Indonesia masih harus membangun berbagai hal. “Itu misi kami sebagai pembuat keputusan, pelaku ekonomi, dan masyarakat untuk membangun Indonesia seperti yang dimaui,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rahasa mengatakan, pemerintah telah membuat banyak kemajuan dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Indonesia telah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan per kapita, produksi domestik bruto serta devisa telah melampaui US$ 50 miliar.
Mensinergikan Kekuatan Meski dicengkeram aneka persoalan pelik dan akut, Indonesia berpotensi menjadi kekuatan ekonomi tangguh dunia yang disegani. Berbagai kalangan meyakini bahwa Indonesia adalah raksasa tidur, namun tergolong lamban dan malas untuk bangkit dari keterpurukan.
Para ekonom sependapat, bahwa di atas kertas, mimpi Indonesia bakal menjadi kekuatan ekonomi dunia nomor enam atau tujuh sebagaimana diramalkan beberapa lembaga bisa menjadi realita. Goldman Sach, bank investasi papan atas AS, memprediksi Indonesia menjadi kekuatan nomor tujuh di dunia setelah Tiongkok, AS, India, Brasil, Meksiko, dan Rusia. Indonesia masuk dalam gerbong E-7 (The Emerging Seven), yang bakal mengungguli kekuatan ekonomi negara-negara maju G-7.
Bahkan, PricewaterhouseCoopers (PwC) menempatkan Indonesia peringkat keenam ekonomi dunia setelah AS, Tiongkok, India, Jepang, dan Brasil pada 2050. Menurut Yayasan Indonesia Forum — beranggotakan pengusaha dan ekonom ternama –Indonesia bakal masuk jajaran lima besar (the big five) ekonomi dunia pada 2030 dengan pendapatan per kapita US$ 18.000. Pada saat itu, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia diharapkan masuk daftar Fortune 500 Companies.
Untuk menuju ke sana, ada berbagai prasyarat yang meski ditempuh. Agenda mendesak yang perlu dituntaskan adalah mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Kalangan ekonom mendesak pemerintah memperbesar anggaran untuk infrastruktur dan proyek-proyek padat karya. Janji land reform dengan membagi 9,6 juta ha lahan harus segera direalisasikan. Pemberdayaan UMKM harus diakselerasi.
Purbaya Yudhi Sadewa minta pemerintah investasi besar-besaran di bidang sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan. ”Ini penting untuk persiapan 20-30 tahun ke depan,” kata dia.
Hal lain yang harus dilakukan adalah koordinasi antara pusat dan daerah. Pemerintah harus tegas memangkas perda bermasalah. Paket-paket kebijakan yang sudah diterbitkan harus diimplementasikan agar tercipta iklim investasi yang kondusif. Segala bentuk hambatan investasi mutlak harus dikikis. ”Kebijakan pemerintah sudah probisnis, cuma lemah di implementasi,” kata MS Hidayat.
Strategi dan pemetaan berbagai sektor unggulan harus dijalankan secara konsisten. Sebagai contoh, di sektor industri, Kadin Indonesia telah menetapkan sepuluh klaster industri unggulan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri maju dan bangsa niaga tangguh pada 2030. Sektor energi, tambang, dan agribisnis yang diprediksi tetap berjaya di masa depan, perlu digarap intensif dan didorong menjadi industri yang bernilai tambah tinggi.
Dekan Fakultas Ekonomi UI Bambang Brojonegoro menilai, perlu komitmen para pemimpin dan elite untuk mensinergikan berbagai kekuatan yang dimiliki Indonesia. “Penduduk kita besar. Demikian juga SDA dan keindahan alamnya. Potensi luar biasa itu harus dioptimalkan,” tuturnya.
Penegakan hukum juga menjadi pembuka jalan bagi kepesatan ekonomi. Pengalaman empiris banyak negara mengajarkan betapa menjadikan hukum sebagai panglima bakal menorehkan hasil luar biasa dalam kemajuan ekonomi. Singapura, Tiongkok, dan Finlandia adalah potret negara yang pesat perekonomiannya karena gigih memberangus korupsi. Paul Krugman, ekonom dunia dengan teori-terori hebat, pernah berpesan, jika Indonesia ingin segera recovery dari krisis, hal pertama yang harus dilakukan adalah penegakan hukum.
Para ekonom dan pengusaha sepakat bahwa Indonesia memiliki seperangkat modal dasar, yang bila kekuatannya diintegrasikan akan mampu membawa kemakmuran bangsa. Resultan elemen-elemen kekuatan yang kini terserak laksana mozaik akan menghasilkan sinergi, sehingga Indonesia mampu mengejar ketertinggalannya. (raj/nur/idi)